Sabtu, 10 Mei 2014

Filsafat



LATAR BELAKANG

Studi filsafat tampaknya masih terus banyak diminati. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat semakin dirasakan signifikansinya, atau paling tidak, berarti telah terbangun suatu kesadaran kreatif, peka dan jernih dalam melihat persoalan, sehingga muncul ide-ide segar dan cemerlang.
            Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena dia diberi akal. Akal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, membedakan manusia dengan binatang. Dengan akalnya manusia berpikir, bahkan sering dijumpai dalam komunikasi sehari-hari muncul istilah “orang itu tidak punya pikiran”, ini sebagai analogi bahwa pikiran sama dengan akal. Dengan akhirnya mencari tahu. Inilah asal mula pengetahuan, yaitu adanya keingintahuan manusia. Ketika manusia berpikir, dari mana dia ada, untuk apa dia ada, dan kemana setelah tiada? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab dengan segera dan spontan, tetapi membutuhkan pemikiran secara mendalam, membutuhkan perenenungan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat filsafat. Jawabannya membutuhkan pemikiran filsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sejauh akal manusia dapat menjangkaunya.
            Secara etimologis (ilmu asal usul kata) kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philosophia terdiri dari dua kata, yaitu philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta serta sophos yang berarti kearifan atau kebijaksanaan. Dari bahasa Yunani ini melahirkan kata dalam bahasa Inggris philosophy yang diterjemahkan sebagai cinta kearifan/kebijaksanaan. Cinta dapat diartikan sebagai suatu dinamika yang menggerakan subjek untuk bersatu dengan objeknya dalam arti dipengaruhi dan diliputi objeknya. Sedangkan kearifan atau kebijaksanaan dapat diartikan ketepatan bertindak. Dalam bahasa Inggris dapat ditemukan kata policy dan wisdom untuk menyebut kebijaksanaan. Namun yang sering dipergunakan dalam filsafat adalah kata wisdom dan lebih ditujukan pada pengertian keaifan.

PEMBAHASAN
 Bebrapa hal yang biasa dikaitkan dengan filsafat, yaitu:
1.   Filsafat sebagai suatu sikap.
Filsafat merupakan sifat terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagaimana manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidupnya dan alam sekitarnya. Contoh: seorang ibu yang tiba-tiba mendapat berita kematian putrinya yang pramugari. Seorang ibu yang mampu berpikir secara mendalam dan menyeluruh dalam menghadapi musibah tersebut akan dapat bersikap dewasa, dapat mengontrol dirinya dan tidak emosional. Sikap kedewasaan secara kefilsafatan adalah sikap yang menyelidiki secara kritis, terbuka dan selalu bersedia meninjau persoalan dari semua sudut pandangan.
2. Filsafat sebagai suatu metode berfilsafat adalah berpikir secara reflektif, yaitu berpikir dengan memperhatikan unsur di belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.
3. Filsafat sebagai kumpulan persoalan banyak persoalan-persoalan abadi yang dihadapi oleh para filsuf. Usaha-usaha untuk memecahkannya telah dilakukan, namun ada persoalan-persoalan yang smpai hari ini belum juga terpecahkan. Contoh: persoalan apakah ada ide-ide bawaan? Hal ini telah dijawab oleh John Locke. Contoh: berapa IP (indeks prestasi) yang Anda capai semester ini? Pertanyaan yang demikian dapat langsung dijawab karena bersangkutan dengan fakta. Sedangkan pertanyaan yang berikut:
Apakah Tuhan itu ada?
Apakah kebenaran itu?
Apakah keadilan itu Ada perbedaan antara pertanyaan filsafat dengan pertanyaan bukan filsafat? 4. Filsafat merupakan system pemikiran.
            Dalam sejarah filsafat telah dirumuskan system-sistem pemikiran dari Socrates, Plato, dan Aristoteles. Dengan demikian tanpa adanya nama-nama pemikir tersebut besert hasil pemikirannya, maka filsafat tidak dapat berkembang seperti sekarang.
5. Filsafat merupakan analisis logis para tokoh filsafat analitis berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti dari suatu istilah, baik yang dipakai dalam ilmu maupun dalam kehidupan sehari-hari.
6. Filsafat merupakan suatu usaha untuk memperoleh pandangan secara menyeluruh
Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh.
Hakikat dari sesuatu haruslah mempunyai sifat-sifat berikut:
a. Umum, artinya dapat diterapkan secara luas.
b. Abstrak, artinya tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan hanya dapat ditangkap dengan akal.
c. Mutlak harus terdapat pada sesuatu hal, sehingga halnya menjadi ada.
            Menurut Descrates ada beberapa tahapan untuk memulai perenungan filsafat, yaitu:
a. menyadari adanya masalah
apabila seseorang menyadari bahwa ada sesuatu masalah, maka orang tersebut akan mencoba untuk memikirkan penyelesaiannya.
b. meragu-ragukan dan menguji secara rasional anggapan-anggapan setelah selesai dirumuskan, mulailah mengkaji pengetahuan yang diperoleh melalui indera san meragukannya.
c. memeriksa penyelesaian-penyelesaian yang terdahulu setelah menguji pengetahuan perlu mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian yang telah diajukan mengenai masalah yang bersangkutan.
d. mengajukan hipotesis
e. menguji konsekuensi-konsekuensi mengadakan verifikasi terhadap hasil-hasil penjabaran yang telah dilakukan.
f. menarik kesimpulan kesimpulan yang diperoleh dapat merupakan masalah baru untuk diuji kembali dan seterusnya.
            Terdapat bagian dari filsafat yang cukup menarik walau kurang begitu banyak dikumandangkan yaitu Etika. Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral perilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, namun bukan nilai moral itu sendiri. Nilai moral adalah kualitas perilaku baik dari manusia. Ajaran yang memberi manusia tentang bagaimana berperilaku dengan kualitas baik adalah moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak. Maka etika adalah ilmu atau lebih tepatnya pengetahuan filosofis, dan bukan merupakan ajaran (normatif) sebagaimana moralitas atau akhlak. Setiap moralitas atau akhlak menghendaki supaya manusia berperilaku baik sesuai dengan yang diajarkan, sedang etika menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik itu dengan kesadaran dan kepahamannya. Sadar dan paham atas apa yang dilakukannya, atas sumber dari mana “petunjuk” perbuatan itu,  atas alasan kenapa perbuatan itu dilakukannya, dan atas apa konsekuensi perbuatan itu jika benar-benar dilakukannya.
Dari paparan di atas jelas bahwa persoalan etika adalah sebagai berikut: Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan etika deskriptif (descriptive ethics), yaitu mempelajari perilaku pribadi-pribadi manusia atau personal morality dan perilaku kelompok atau social morality. Dengan menganalisa bermacam-macam aspek dari perilaku manusia, antara lain: motif, niat dan tindakan-tindakan terbaik yang dilaksanakan. Kedua, pengertian perilaku moral seperti di atas harus dibedakan dengan apa yang seharusnya (etika normatif). Apa yang seharusnya dilakukan mendasarkan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam kehidupan manusia. Yaitu dengan menanyakan bagaimanakah cara hidup yang baik yang harus dilakukan. Ketiga, berkaitan dengan pengertian praktis. Dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah menjalankan hidup dengan benar, atau bagaimana cara menjadi manusia yang benar (Harold H. Titus, 1984: 140).
Oleh karena itu lingkup persoalan etika dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Etika Deskriptif
Etika deskriptif sering menjadi bahasan dalam ilmu sosiologi. Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan dilapangan penelitian. Secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam pengertian luas, seperti dalam adat kebiasaan, atau tanggapan-tanggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.
Etika deskriptif adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang berusaha untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin tentang yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif  hanya  melukiskan tentang suatu nilai dan tidak memberikan penilaian.
2.    Etika Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang mempunyai ukuran atau norma standar yang dipakai untuk menilai suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau kelompok orang. Dalam hal ini etika normatif menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang seharusnya terjadi atau yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. Etika normatif tidak seperti etika deskriptif yang hanya melibatkan dari luar sistem nilai etika yang berlaku, tetapi etika normatif melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
3.    Etika praktis
Etika praktis mengacu pada pengertian sehari-hari, yaitu persoalan etis yang dihadapi seseorang ketika berhadapan dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam tindakannya sehari-hari.
4.    Etika Individual dan Etika Sosial
Adalah etika yang bersangkutan dengan manusia sebagai perseorangan saja. Di samping membicarakan kualitas etis perorangan saja, etika juga membicarakan hubungan pribadi manusia dengan lingkungannya seperti hubungan dengan orang lain. Etika individu berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah laku yang dilakukan oleh perseorangan sebagai kesatuan yang lebih besar.
Etika filsafat sebagai  cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain karena pendapat etik tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika filsfat sudah terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu, tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa pengetahuan benar tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari sokrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk dipertahankan. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat sokrates tadi, pengethuan tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat. Etika filsafat  juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah orang dapat menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak mempunyai nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang abstrak dan kurang releven  untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Disini tidak perlu diselidiki sampai dimana prasangka itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-tidaknya  tentang etika sebagai cabang filsafat  dengan mudah dapat disebut dan disetujui relevansinya bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (Abdullah: 2006) 
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah akhlak terkadang disebut dengan istilah adab. Maka, orang yang berakhlak, lalu disebut orang yang beradab, sebaliknya orang yang buruk perilakunya, disebut tidak beradab. Istilah akhlak terkadang juga disebut dengan sopan santun. Akhlak berasal dari bentuk jamak bahasa Arab khuluq yang berarti suatu sifat permanen pada diri orang yang melahirkan perbuatan secara mudah tanpa membutuhkan proses berpikir. Definisi lain dari akhlak adalah sekumpulan nilai-nilai yang menjadi pedoman berperilaku dan berbuat Akhlak juga secara singkat diartikan sebagai budi pekerti atau perangai. Jadi bisa disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu moral/ilmu akhlaq yang mengindikasikan hal-hal pra tindakan yang berupa pengetahuan serta pemikiran tentang hal/tindakan baik dan buruk.
Kebaikan itu sendiri-menurut ibn Sina sangat erat kaitannya dengan kesenangan. Kebaikan itu membuat manusia lebih sempurna dalam suatu hal. Kebaikan terbaik berkaitan dengan kesempurnaan roh manusia. dengan demikian kejahatan merupakan sejenis ketidak sempurnaan.
Tujuan hidup ialah untuk menghentikan kesenangan duniawi sebagai suatu yang diinginkan dan mengembangkan serta menyempurnakan roh dengan cara bertindak menurut kebajikan-kebajikan rasional. Roh yang demikian berada sangat dekat dengan sumber ketuhanannya dan ingin bersekutu dengannya dan dengan arahnya itu ia mencapai kebahagiaan abadi. Sedangkan menurut teori hedonisme Yunani kuno mengajarkan bahwa kebaikan itu merupakan sesuatu yang mengandung kepuasan atau kenikmatan. Sedangkan aliran pragmatisme mengajarkan bahwa segala sesuatu yang baik dalam kehidupan adalah yang berguna secara praktis. Sama beda dengan aliran utilitarianisme yang mengajarkan bahwa yang baik adalah yang berguna.
Jika ada sekelompok masyarakat yang dapat hidup rukun, giat bekerja dengan cara-cara yang baik, masyarakat yang demikian ini lalu disebut dengan masyarakat yang santun atau yang mempunyai sopan santun, maka ada istilah masyarakat yang santun atau masyarakat yang beradab (civil society). Dalam etika, nilai perilaku manusia dapat dibedakan dari dua sudut pandang. Pertama, perilaku yang dilihat dari sudut tujuannya. Pembahasan mengenai perilaku demikian, dalam kajian etika dikenal dengan teleologis. Berasal dari kata telos yang berarti tujuan. Teleologis adalah paham etika yang menekankan moral pada nilai intrinsik sebagai konsekuensi suatu perbuatan. Kedua, perilaku yang dilihat dari sudut prosesnya, yang dalam kajian etika dikenal deontologis. Berasal dari kata deon yang berarti proses. Deontologi adalah suatu paham etika yang menekankan perbuatan moral bukan pada nilai intrinsik dari konsekuensi perbuatan baik dan bijak karena perbuatan itu sendiri. Secara sederhana bisa dikatakan, dua hal inilah yang menjadi ukuran baik-tidaknya akhlak seseorang.
Pada yang pertama, perilaku manusia dikatakan baik jika tujuannya baik atau sebaliknya, perilaku manusia dapat dikatakan buruk jika tujuannya buruk. Sementara pada yang kedua, meski tujuannya buruk jika proses perilaku itu baik, maka perilaku itu tetap dikatakan baik, sebaliknya jika memang prosesnya buruk, meski tujuannya baik, perilaku akan tetap dikatakan buruk. Kekacauan dalam melihat dua hal yaitu tujuan dan proses ini, mengakibatkan apa yang dimaksud dengan akhlak itu menjadi kabur. Misalnya: seseorang yang ingin menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga, memberi sumbangan pada masjid atau madrasah; semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tetapi jika tujuan baik ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti: memasang lotre, mencuri, korupsi, menipu, dan lain sebagainya, tentu semua ini tidak bisa disebut perbuatan yang baik atau berakhlak.
               Segala macam tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu bersangkut paut dengan baik dan buruk, pantas ataukah tidak pantas dilakukan. Karena semua manusia pada dasarnya–baik muslim ataupun tidak–memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Setiap tindakan yang dilakukan oleh sekelompok manusia (Desa, Daerah, Negara, Keyakinan Keagamaan, dll) baik, belum tentu baik juga bagi kelompok manusia yang lain. Bahkan ada sebagian tokoh khususnya disni adalah tokoh posmodernisme memandang bahwa kebenaran bersifat relatif, terhadap waktu, budaya tempat dan sebagainya. Hal inilah yang biasa dikenal orang sebagai “Etika”. Etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya ialah teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal lima ketegori baik-buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya. Tetapi tujuan etika itu sendiri ialah bagaimana mengungkap perbedaan kebaikan dan keburukan sejelas-jelasnya sehingga mendorong manusia terus melangkah pada kebaikan.
   Banyak orang juga yang mengidentikkan Etika dengan Moral (Moralitas). Etika membatasi dirinya dari disiplin ilmu lain dengan pertanyaan apa itu moral? Ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar etika. Etika” danMoral”. Kata yang terakhir ini berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Jadi etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral” karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang pertama berasal dari bahasa Latin. Tetapi di samping itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat etika membahas yang harus dilakukan. Keduanya sama-sama terkait dengan baik-buruknya tindakan manusia, namun diantara etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat dapat dipahami bahwa moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, sedangkan etika memiliki pengertian “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilmu al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah prakteknya. Dalam filsafat, terkadang etika disamakan dengan filsafat moral. Tindakan etis dipercaya pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya. Selain itu tindakan etis juga bersifat rasional. Islam sangat percaya kepada rasionalitas sebagi alat dalam mendapatkan kebenaran.
Bagian Persoalan moralitas dalam hubungannya dengan interaksi antar manusia merupakan persoalan utama pada zaman ini. Beberapa persoalan krusial yang muncul, antara lain adalah bagaimana manusia harus bersikap menghadapi perkembangan teknologi yang pesat pada abad ini, bagaimana bangsa-bangsa dunia menghadapi pemanasan global, bagaimana harus memlihara perdamaian secara bersama-sama dalam masyarakat yang sangat plural. Semua itu masuk ke dalam problematika etika yang perlu dipikirkan dengan segera. Kenyataan yang ada pada saat ini bahwa kemajuan teknologi informasi telah berkembang lebih cepat dari pada pemahaman terhadap nilai-nilai.
Menurut Bertens, (2007:31), situasi etis pada zaman modern ini ditandai oleh tiga ciri antara lain: 1) adanya pluralitas moral; 2) munculnya masalah-masalah etis baru yang sebelumnya tidak ada; 3) munculnya kesadaran baru di tingkat dunia yang nampak jelas dengan adanya kepedulian etis yang universal. Maka dari itu setidaknya terdapat empat alasan perlunya etika pada zaman ini (Suseno, 1993: 15).
Pertama, individu hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk di dalamnya di bidang moralitas. Kedua, pada saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang berlangsung sangat cepat. Gelombang modernisasi membawa perubahan yang mengenai semua segi kehidupan. Ketiga, bahwa proses perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi ini sering dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memancing dalam air keruh. Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agamawan. Dengan demikian, maka etika sangatlah penting.
Etika sangat penting bagi pengembangan ilmu, apapun disiplinnya. Tanpa mempertimbangkan tujuan untuk kehidupan kemanusiaan dan keberlangsungan lingkungan hidup baik hayati maupun non hayati adalah pembunuhan diri eksistensi manusia. Diberbagai media massa banyak membicarakan tentang teroris yang melakukan serangkaian pemboman di berbagai tempat di Indonesia. Di balik bom teroris tersebut ternyata menyisakan suatu masalah bahwa pemahaman keagamaan yang tidak didialogkan dengan permasalahan-permasalahan yang sudah ada sebelumya dan tidak dikomunikasikan dengan ilmuwan agama lainnya ternyata bisa menimbulkan korban manusia-manusia tak bersalah.
Pribadi-pribadi manusia selalu mengadakan pertimbangan terhadap tingkah laku mereka sendiri dan tingkah laku orang lain. Terdapat tindakan-tindakan yang disetujui dan dinamakan benar atau tidak. Tindakan-tindakan lain dicela atau tidak disetujui dinamakan salah atau jahat. Pertimbangan moral berhadapan dengan tindakan manusia, yang bebas. Tindakan-tindakan yang tidak bebas, yang pelakunya tidak dapat mengontrol perbuatannya, tidak dihubungkan dengan pertimbangan moral, karena seseorang dianggap tidak dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya yang tidak dikehendaki. Tindakan-tindakan tercela ini diidentikan dengan perilaku iblis.
Perilaku iblis adalah perilaku tercela yang dilarang agama. Perilaku iblis tersebut antara lain adalah mencuri, kikir, tidak peduli terhadap penderitaan orang lain, tidak mau membantu orang yang ditimpa kesusahan, selalu ingin menang sendiri, merasa diri paling memiliki kelebihan, angkuh, sombong, dan tidak mau bergaul dengan orang yang lebih rendah dari dirinya, menganggap lemah dan remeh terhadap orang lain, tidak mau menerima masukkan, saran, kritik, dan nasihat dari orang lain. Padahal Allah SWT sangat mengutuk tindakan tersebut, sebagaimana Q.S Al Al’raf : 12 ketika Iblis berkata “ Aku lebih baik daripadanya (Adam), karena aku Engkau jadikan dari api sedangkan Ia, Engkau jadikan dari tanah”. Karena hal tersebut Allah SWT mengutuk iblis dan mengusir iblis dari sisi-Nya dan mendapat laknat kutukan selamanya.
Tidak ada hal yang dapat dibanggakan dan disombongkan manusia karena di mata Allah SWT semua yang dimiliki oleh manusia adalah titipan dari Allah semata. Semua yang terjadi dalam hidup manusia, rezeki yang melimpah, kemiskinan adalah atas kehendak Allah dan merupakan suatu ujian keimanan manusia itu sendiri. Sebagaimana Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82) yang bermakna Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
Dengan demikian kewajiban manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT (Q.S Adz Dzariyat:56) yang berbunyi “ Dan tidaklah ku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada Ku”. Serta memaksimalkan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi (Q.S Albaqarah:30). Tiap-tiap manusia adalah pemimpin, minimal dia akan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, atau laki-laki menjadi pemimpin keluarganya.
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia wajib mengatur kehidupannya dengan baik dan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Dimana manusia harus dapat memberikan kemanfaatan bagi manusia lainnya dan alam lingkungannya, “sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat bagi yang lainnya”. Memberikan manfaat dapat diartikan sebagi mendatangkan kebaikan bagi orang lain. “Kebaikan yang diperoleh seseorang haruslah didasarkan pada kesadaran pengembangan kebaikan dalam rangka kekeluargaan”,(QS. Al-Maidah:90).

KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang senantiasa diberikan banyak kelebihan yang dapat ia maksimalkan sebagai bentuk pengabdiannya kepada Allah SWT, dengan nilai ke-Tuhanan tersebut manusia senantiasa membina wataknya untuk menjadi manusia yang baik dan memiliki leadership (jiwa kepemimpinan) untuk senantiasa menjadi orang yang selalu memberikan kebaikan bagi orang lain.
 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Y. (2006). Studi Etika. Jakarta. Rajawali Perss.

Al Qur’an

Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Suseno, F.M. (1993). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius

Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara.