SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN CIVICS DAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(MAKALAH)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas
Mata Kuliah : Teori dan Landasan
Pendidikan Kewarganegaraan
Yang Dibimbing Oleh:
Prof. Dr. Abdul Aziz Wahab, M.A.
Disusun Oleh:
CAMELLIA NIM 1302515
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
KATA
PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang tiada terhingga kekuasaan
dan kekuatan-Nya, sumber segala kebenaran sejati, yang membimbing
dan mempermudah pembuatan atau penyusunan makalah ini.
Makalah
ini mencoba mengkaji tentang sejarah
singkat perkembangan civics dan
pendidikan kewarganegaraan. Secara khusus makalah ini ditulis untuk memenuhi salah
satu tugas Mata Kuliah Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan yang
dibimbing oleh Prof. Dr. A. Azis Wahab, M.A. Penghargaan dan ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini, semoga Allah yang Maha Pemurah membalas dengan kebaikan
yang berlipat ganda.
Penulis
menyadari berbagai kekurangan dalam penulisan makalah yang mungkin disebabkan karena
adanya rasa subjektifitas dalam
menganalisa permasalahan ataupun kesalahan intepretasi. Oleh karena itu
berbagai masukan sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
Akhirnya dengan
segala kesederhanaan makalah ini, Penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat
menjadi tambahan pengetahuan yang
dapat memperdalam wawasan mengenai
sejarah singkat perkembangan civics
dan pendidikan kewarganegaraan. Aamiin ya Allah.
Bandung, Septenber 2013
Penulis
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pesatnya perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi membuat hubungan antara negara di dunia menjadi lebih
mudah dan lebih transparan. Dampaknya adalah mempengaruhi segala aspek
kehidupan, mulai dari pola pikir sampai pada karakter warga negara-bangsa di
dunia. Hal ini membuat setiap negara bersaing untuk pembangunan kualitas
negaranya dan warganya. Tidak ada satupun negara-bangsa di dunia ini yang tidak
ingin tetap bertahan dan maju dalam pembangunan. Pembangunan negara-bangsa dan
pembangunan karakter sebuah
negara-bangsa merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan bagaikan dua sisi
mata uang (Budimansyah, 2010:1). Pembangunan tersebut harus terus dilaksanakan
agar sebuah negara dapat terus memperkuat dan mempertahankan ekisistensinya di
dunia dan dapat membentuk warga negaranya menjadi warga negara yang cerdas dan
baik (smart and good citizen) . Kedua
proses pembangunan ini sangat tidak terlepas dari proses pendidikan terutama
pendidikan kewarganegaraan (PKn atau civic
education).
Pada awalnya pembelajaran dengan
istilah “civic” dikenalkan oleh
Legiun Veteran Amerika yang tujuannya adalah untuk membangsakan bangsa Amerika
yang amat bervariasi ras, budaya dan asal negaranya, (Wahab dan Sapriya, 2011:
3). Menurut Legiun tersebut bahwa hanya dengan memahami nilai-nilai perjuangan
dalam membangun bangsa Amerika agar orang Amerika dapat menghargai dan
membangun bangsanya secara demokratis dan bertanggung jawab. Melalui bukunya“Educating Citizens for Democrazy”Gross
dan Zeleny mendukung pendidikan kewarganegaraan untuk menciptakan masyarakat
demokrasi. Kemudian di Indonesia, perkembangan pendidikan kewarganegaraan
secara formal muncul mata pelajaran civics
termuat dalam kurikulum SMA pada tahun 1962.
Dengan kata lain pendidikan
kewarganegaraan kemudian dirumuskan menjadi lebih luas dan mencakup proses
penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai
warga negara, ( Winataputra, Budimansyah, 2012:5). Keinginan-keinginan tersebut menjadi perhatian setiap negara yang
terus tumbuh subur dan dan dirasakan sebagai sebuah kebutuhan bagi setiap
negara.
Mencermati beberapa hal tersebut
memberikan ketertarikan kepada penulis untuk menguraikan sejarah singkat
perkembangan civics dan pendidikan
kewarganegaraan. Mengingat bahwa hampir setiap negara di dunia memiliki
permasalahan terhadap pencapaian tingkat pemahaman warga negaranya akan hak-hak
dan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang warga negara.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana civics
dan pendidikan kewarganegaraan dalam perkembangannya?
2. Bagaimana perkembangan civics dan civics education
(PKn) di Amerika?
3. Bagaimana perkembangan civics dan civics education
(PKn) di Indonesia?
4.
Bagaimana perkembangan pembelajaran civics
yang berorientasi pada community,
economic dan vocational civics?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui civics dan pendidikan
kewarganegaraan dalam perkembangannya
2. Untuk
mengetahui perkembangan civics dan civics education (PKn) di Amerika
3. Untuk
mengetahui perkembangan civics dan civics education (PKn) di Indonesia
4.
Untuk mengetahui
perkembangan pembelajaran civics yang berorientasi pada community, economic dan
vocational civics
ISI
A. Civics
dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perkembangannya
Salah
satu alasan sebuah negara menyiapakan sebuah program pendidikan adalah sebagai
upaya membentuk warga negara yang sesuai dengan keinginan negara tersebut.
Berbagai upaya program pendidikan diwujudkan dengan adanya materi pembelajaran
yang yang memungkinkan tercapainya tujuan dari negara tesebut salah satunya
adalah melalui pendidikan kewarganegaraan (civic
education).
Pendidikan kewarganegaraan merupakan pendidikan yang berguna
untuk pembentukan kepribadian seseorang. Karena pendidikan kewarganegaraan
mempelajari tentang bagaimana seseorang menjadi warga negara yang benar dan
baik, (Madonsa, 2010). Selain itu pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan
yang mempersiapkan siswa menjadi calon warga negara yang memahami perannya
sebagai warga negara, (Wahab & Sapriya, 2011:29).
Secara
historis-epistemologi, Amerika Serikat (USA) dapat dicatat sebagai negara
perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan
paradigma citizenship education
sebagai matapelajaran di sekolah yang berisikan materi mengenai pemerintahan,
(Alen, 1960 dalam Budimansyah, 2010: 107). Dengan ahli lain bernama Cheresore
mengartikan konsep pendidkan kewarganegaraan yang mempelajari hubungan antar
individu dan antara individu dengan negara.
Pendapat
ini di dukung oleh Wahab dan Sapriya (2011: 4) bahwa di Amerika Perkembangan
pendidikan kewarganegaraan yang bermula pada pembelajaran civics, di Amerika pada mulanya didasarkan pada teori psikologi
yang memang menjadi panutan saat itu yang menekankan bahwa dalam pembelajaran
yang terpenting adalah “mind and body”
yang artinya apabila ada kesalahan dalam pembelajaran bukan pada badan tapi
pada pikiran.
Kemudian
sampai pada tahun 1999 Cogan mempertegas konsep pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan ciri membentuk
warga negara yang memiliki lima ciri
utama yaitu jati diri, kebebasan untuk menikmati hak tertentu, pemenuhan
kewajiban-kewajiban yang terkait, tingkat minat dan keterlibatan dalam urusan
publik, dan pemilikan nilai-nilindasar kemasayarakatan, (Winataputra &
Budimansyah, 2012:3).
Dengan
demikian dapat ditafsirkan bahwa pendidikan kewarganegaraan tidak bisa dilihat
dan diperlakukan sebagai matapelajaran di sekolah saja, tetapi lebih jauh
seyogyanya menjadi kegiatan pendidikan yang bersifat komprehensif dalam isi
maupun penanganannya.
Kemudian
perkembangan pendidkan di kawasan Asia dan Afrika, ( menguraikan secara singkat
berdasarkan yang termuat dalam Winataputra & Budimansyah, 2012:75-83)
diuraikan yang pertama dari negara Jepang. Di Jepang pendidikan kewarganegaraan
bermula setelah perang dunia kedua, dimana matapelajaran pendidikan
kewarganegaraan mengalami tiga periode, yang pertama pendidikan kewarganegaraan
sebagian besar diterapkan secara integratif ke dalam studi sosial. Studi sosial
mengadopsi metode-metode pemecahan masalah seperti diskusi, dan mengajarkan
kehidupan sosial dan masayarakat secara umum. Kedua, pendidikan kewarganegaraan
didasarkan pada prinsip intelektualisme yang berkembang dalam dimensi akademis
yang sasarannya adalah pengetahuan dan pemahaman, keterampilan berpikir dan
ketetetapan, keterampilan dan kemampuan, dan kemauan minat serta sikap warga
negara. Ketiga, pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada prinsip hubungan
timbal balik. Sekolah menjadi tempat bagi siswa menemukan suatu masalah
sendiri, belajar tentang permasalahan itu, memikirkannya, menilai dengan bebas,
menggunakan metode yang tepat, memecahkan masalah secara tepat, kreatip dan
memperdalam pemahamannya tentang hidup.
Sedangkan
di Pakistan, pendidikan kewarganegaraan dapat dilihat dalam empat aspek yaitu
negara bangsa yang militeristik, keadaan darurat perang dingin, ekstremisme
agama, dan feodalisme, dengan demikian tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah
penyiapan warga negra yang siap perang. Dari keempat aspek ini yang paling
mewarnai kehidupan di Pakistan adalah konflik ideologis mengenai agama.
Perdebatan visi teokrasi-demokrasi liberal. Hingga sampai pada pasca 11
september 2001 fokus utama usulan agenda reformasi adalah pendidikan
kewarganegaraan.
Selanjutnya
nergara Republik Rakyat Cina (selanjutnya di akan disebut Cina). Pendidikan
kewarganegaraan di negara Cina tidak mempunyai sebutan khusus “ pendidikan
kewarganegaraan” namun lebih dalam bentuk pendidikan moral. Pendidikan moral
menjadi sesuatu yang esensial sebagai alat sosialisasi politik dalam
mentransmisikan nilai-nilai ideologi dan politik tidak hanya kepada siswa
tetapi juga kepada masyarakat luas. Dimana pada tahun 1949-1978 pendidikan
moral berorientasi pada politik. Tugas utamanya adalah untuk menghancurkan
ideologi-ideologi para feodalis, borjuis dan fasis serta menanamkan
keutamaan-keutamaan nasional seperti mencintai tanah air, mencintai rakyat,
mencintai buruh, mencintai ilmu dan mencintai kekayaan publik. Pada tahun
1978-1993 pendidikan moral lebih kepada aspek sikap dan perilaku dimana dokumen
outlite kewarganegaraan memiliki fokus utama yaitu sosialisme dan kolektivisme
berdasarkan atas patriotisme, standar moral dan perilaku siswa, adopsi sebuah
pendekatan motivasional untuk mengembangkan kepercayaan diri, kemandirian dan
kekuatan siswa. Sejak 1993 modernisasi dan keterbukaan negara Cina terhadap
ekonomi pasar (kapitalisme global) menjadikan kurikulum pendidikan moral perlu
mengembangkan diri sebagai pembebasan kurikulum kewarganegaraan yang berfokus
kepada pertumbuhan individu dari sosialisasi politik.
Di
indonesia sendiri perkembangan pendidikan kewarganegaraan telah muncul dengan
beberapa nama diantaranya pada masa orde lama (ORLA) yaitu kewarganegaraan
(1957) yang membahas cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan, civics (1962) yang membahas sejarah kebangkitan nasional
dan Pendidikan kewargaan negara (1968), Soemantri (dalam Wahab & Sapriya,
2011:295). Sedangkan pada masa orde baru (ORBA) nama matapelajaran untuk
pendidikan kewarganegaraan adalah kelompok pembinaan jiwa pancasila dengan nama
pendidikan moral pancasila (PMP) dengan tujuan agar tiap-tiap warga negara
Indonesia (WNI) berkewajiban mengamalkan pancasila dan UUD 1945 serta merealisasikan
isi dan jiwa UUD 1945 dan ketetapan MPRS/MPR sebagai ketentuan pelaksanannya.
Setelah itu disusun kurikulum 1994 yang membuat PMP berubah menjadi pendidikan
pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) hal ini berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun
1989 tentang sistem pendidikan nasional (Wahab & Sapriya, 2011: 296-297).
Konsep
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan civics
atau ilmu kewarganegaraan di Amerika Serikat sebagai negara asal pelajaran civics dan civic education. Tujuannya adalah membentuk warga negara yang
mengetahui sejarah bangsanya dan berjiwa patriotisme.
Dengan
demikian senantiasa diharapkan bahwa proses perubahan menuju kepada negara yang
demokrasi ( proses demokraktisasi) serta kearah pendewasaan sebagai cara
menunjukkan eksistensi sebagai sebuah negara yang berdaulat yang mengetahui
sejarah bangsanya, negara yang punya jati diri masih harus terus melakukan
pembenahan terhadap konsep pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum pendidikan
di sekolah untuk masa-masa mendatang.
Mencermati
hal tersebut di atas, penting bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa tanggap
dan memberikan inovasi dalam pendidikan kewarganegaraan sehingga warga negara
yang diharapkan dapat terwujud. Warga negara yang cerdas dan baik (smart dan good citizen) serta menyadari
akan hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara Indonesia. Hal ini
menjadi tugas antara Pemerintah dan Tripusat pendidikan (keluarga, sekolah dan
masyarakat).
B. Perkembangan
Civics dan Civics Education (Pkn) Di Amerika
Perkembangan civics
dan civivc education di Amerika pada
awalnya didasarkan pada teori psikologi yang memang sedang menjadi panutan pada
saat itu, yaitu “Faculty Psychologi” yang
menekankan pada teori yang menyatakan bahwa
dalam pelajaran yang terpenting adalah “ mind and body”. Menurut teori ini apabila ada kekeliruan dalam
belajar maka yang salah bukanlah terletak pada tubuh melaikan teletak pada
pikiran, (Wahab dan Sapriya, 2011 : 4). Teori ini mendukung pembelajaran PKn
yang harus menenkankan pada upaya melatih pikiran para pelajar dengan menghapal
(rote memory/memorization),
mengarahkan dan menasehati secara teratur dengan bahan yang baik, dimana cara
ini lebih mengarah pada pengajaran civics
dan PKn yang bersifat indoktrinasi atau parrot
like intruction.
Sebagai negara perintis pengembangan konsep dan paradigma citizenship education yang pertama
kalinyapada pertenganhan tahun 1880-an yang mulai memperkenalkan matapelajaran civics sebagai matapelajaran di sekolah
yang berisikan materi mengenai pemerintahan. Pada tahun 1900-an, berkembang
matapelajaran civics yang berisikan
materi mengenai struktur pemerintahan negara bagian dan federal ( Gross dan
Zeleny dalam Budimansyah, 2010 : 108). Berikutnya Dunn (1915) mengembangkan
gagasan new civics yang
menitikberatkan pada community living atau
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, sampai pada tahun 1920-an istilah civics telah digunakan untuk menunjukan
bidang pengajaran yang lebih khusus yaitu vocational
civics, community civics, dan economic
civics atau kewarganegaraan yang berkenaan dengan mata pencaharian,
kemasyarakatan, dan perekonomian. Diantara tujuan dari mata pelajaran civics pada tahun 1900-an itu adalah
pengembangan social skill and civics
competence atau keterampilan sosial dan kompetensi warga negara, dan idea of good character atau ide-ide
tentang karakter atau watak yang baik, (Gross dan Zeleny (1958), Allen (1960),
Best (1960) dalam Budimansyah, 2010 : 108).
Selain istilah civics pada
tahun 1900-an juga mulai diperkenalkan istilah citizenship education yang digunakan untuk menunjukan suatu bentuk
pendidikan watak, karakter (character
education) serta pendidikan etika dan kebajikan ( teaching personal ethic and virtue). Kemudian Diamond (1953)
mengelaborasi pandangannya mengenai citizenship
yang menurut pendapatnya, konsep itu merupakan suatu pengertian yang
mempunyai dua makna. Di satu pihak ide itu berkenaan dengan peran dan fungsi
warga negara dalam kegiatan politik, dan
di lain pihak berkenaan dengan apa yang disebut dengan kualitas pribadi
yang didamabakan dari warga negara, sebagaimana dicerminkannya dalam kegiatan
sehari-hari.
Civics pada dasarnya berkenaan dengan pembahasan mengenai
pemerintahan demokrasi dalam teori dan praktek, sedangkan citizenship education berkenaan dengan keterlibatan partisipasi
warga negara dalam masyarakat. Kedua aspek ini biasanya diajarakan dalam satu
matapelajaran. Masih pada tahun 1900-an muncul istilah civics education sebagai istilah baru yang juga digunakan secara
bertukar dengan istilah lainnya.
Menurut Mahoney (dalam
Budimansyah, 2010 : 109) civics education
adalah proses pendidikan yang
mencakup proses pembelajaran semua mata pelajaran, kegiatan siswa, proses
administrasi, dan pembinaan dalam upaya mengembangkan prilaku warga negaranya
yang baik. Lebih luas lagi yaitu sebagi produk dari keseluruhan program
pendidikan sekolah, dimana matapelajaran tersebut merupakan unsur yang paling
utama dalam upaya mengembangkan warga negara yang baik, (Allen, 1960 : 11).
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat penulis garis
bawahi, bahwa istilah civics dan civics education ternyata lebih
cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk matapelajaran di sekolah yang
memiliki tujuan utama yaitu mengembangkan warga negra menjadi warga negra yang
baik, dimana segala keseluruhan proses tersebut bermuara pada pembentukan warga
negara yang cerdas dan baik.
Selanjutnya Cogan (dalam Budimansyah, 2010 : 110) mengemukakan
pemikiran lebih maju mengenai civics
education. Sebenarnya perkembangannya di Amerika dapat ditelusuri balik
dimana pada saat The National Education Association membentuk kelompok untuk mengkaji kurikulum
sekolah lanjutan dan kemudian merekomendasikan untuk menyempurnakan kurikulum
tersebut dengan membentuk The Civics Study mengenai kekuatan dan
kelemahan civics. Pertama mengusulkan
perkembangan community civics sebagai
matapelajaran baru untuk kelas sembilan, yang berfungsi sebagai bekal siswa
yang memasuki dunia kerja setelah kelas sembilan. Yang kedua, di kleas 12
dimana diusulkan adanya matapelajaran mengenai problem of democracy. Kedua matapelajaran itu dirancang untuk
menyiapkan para pemuda melalui pengembangan keterampilan yang sungguh
diperlukan untuk mengkaji masalah-masalah kewarganegaraan dan isu-isu yang
berkembang, sebagai upaya untuk memenuhi pelaksanaan peran dan tanggung
jawabnya sebagai warga negara yang hidup dalam masyarakat yang demokratis.
Tujuan utama dari matapelajaran tersebut adalah untuk mengembangkan warga
negara yang partisipatif (to develop
participatory), sekalipun dalam prakteknya tujuan tersebut ternyata tidak
dapat dicapai sepenuhnya. Yang tampak hanyalah pengetahuan tentang isi yang
masih tetap bersifat problematik.
Dalam hal ini Winataputra melihat civics sebagai suatu studi tentang pemerintahan yang dilaksanakan
di sekolah, yang merupakan matapelajaran tentang bagaimana pemerintahan
demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan, serta bagaimana warga negaranya
seyogyanya melaksanakan hak dan kewajibannya secara sadar dan penuh rasa
tanggung jawab. Sedangkan civics
education merupakan program
pembelajaran yang memiliki tujuan utama yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan sehingga menjadi warga negara yang baik, melalui penglaman
belajar yang dipilih dan diorganisasikan atas dasar konsep-konsep ilmu politik.
Dalam pengertian lain, juga dinilai
sebagai pelajaran di dalam maupun di luar sekolah dan sebagai dampak pengiring
dari interaksi antar manusia dalam
kehidupan sehari-hari, yang berkenaan dengan tanggung jawab warga
negara.
Pembelajaran PKn di Amerika setidaknya memegang prinsip what to think dan how
to think. Dimana paling tidak pembelajaran PKn menekankan pada dua hal
penting yaitu, pertama bahan-bahan yang diberikan kepada siswa adalah
bahan-bahan yang baik dan telah dipilih dan ditetapkan pemerintah sebagai
matapelajaran yang harus dikuasai oleh setiap siswa. Dan yang kedua adalah
bahwa mata pelajaran tersebut haruslah memuat nilai-nilai yang berkenaan dengan
patriotisme, nilai-nilai demokrasi seperti nilai-nilai kejujuran, kemerdekaan,
rasa hormat, kebebasan berekspresi. Semua unsur tersebut merupakan nila-nilai
dasar masyarakat dan merupakan bagian utama dari pendidikan kewarganegaraan.
Hal tersebut sebaiknya tidak hanya kita tahu namun juga kita
laksanakan dengan sebaik-baiknya, sehingga dengan demikian cita-cita yang
diharapkan untuk membangun warga negara yang cerdas dan baik bukan hanya
khayalan belaka atau sebuah mimpi di siang bolong. Bukan hanya bagi negara dan
warga negara Amerika namun bagi semua negara di dunia yang menginginkan hal
yang sama, termasuk negara kita Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut dapat penulis katakan bahwa civics merupakan kajian akademis yang
bersifat impersonal, sedangkan civic
education / citizenship education merupakan
kajian personal-pedagogik. Atau dengan kata lain bahwa civics sebagai muatannnya
dan civic educatio / citizenship education sebagai wahana atau
kendaraannya. Dengan demikian mempelajarai keduannya sangat penting bagi warga
negara sebagai individu maupun warga negara sebagai masyarakat.
C. Perkembangan
Civics dan Civics Education (Pkn) Di Indonesia
Di
Indonesia sendiri perkembangan pendidikan kewarganegaraan telah muncul dengan
beberapa nama diantaranya pada masa orde lama (ORLA) yaitu kewarganegaraan
(1957) yang membahas cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan, civics (1962) yang membahas sejarah kebangkitan nasional
dan Pendidikan kewargaan negara (1968), Soemantri (dalam Wahab & Sapriya,
2011:295).
Pada
Tahun 1962 matapelajaran civics dimasukan
secara formal dalam kurikulum SMA. Matapelajaran ini berisikan materi tentang
pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945. Pada saat itu, kewarganegaraan
berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin sejarah,
geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi
manusia, dan pengetahuan tentang perserikatan bangsa-bangsa. Civics tidak dijumpai dalam kurikulum
1957, namun secara material dalam kurikulum SMP dan SMA tahun 1957 terdapat
matapelajaran tata negara dan tata hukum yang di dalamnya di bahas konsep
kewarganegaraan khususnya mengenai status legal warga negara dan syarat-syarat
kewarganegaraan. (Soemantri dalam Budimansyah, 2010 : 114). Sedangkan dalam
kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics
dan pendidikan kewargaan negara digunakan secara bertukar pakai. Misalnya
dalam kurikulum SD 1968 digunakan istilah pendidikan kewargaan negara yang
digunakan sebagai nama matapelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah
Indonesia, geografi Indonesia dan civics (pengetahuan
kewargaan negara), di dalam kurikulm SMP tahun 1968 digunakan istilah
pendidikan kewargaan negara yang berisikan sejarah Indonesia dan konstitusi,
termasuk UUD 1945. Sedangkan di kurikulum SMA matapelajaran kewargaan negara
berisikan materi terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara di dalam
kurikulum SPG 1969 matapelajaran pendidikan kewargaan negara terutama berkenaan
dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi
manusia.
Selanjutnya
di dalam kurikulum proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP), digunakan
beberapa istilah, yaitu pendidikan kewargaan negara, studi sosial, civics, dan hukum. Untuk SD 8 tahun pada
PPSP digunakan istilah pendidikan kewargaan negara yang merupakan matapelajaran
IPS terpadu atau identik dengan “integrated
social studies” di Amerika. Disini istilah pendidikan kewargaan negaran
kelihatannya diartikan sama dengan pendidikan IPS. Disekolah menengah 4 tahun
digunakan istilah studi social sebagai pengajaran IPS yang terpadu untuk semua
kelas dan pengajaran IPS yang terpisah-pisah dalam bentuk pengajaran geografi,
sejarah, dan ekonomi sebagai program major pada jurusan IPS. Selain itu juga
terdapat matapelajaran pendidikan kewargaan negara sebagai matapelajaran inti
yang harus ditempuh oleh semua siswa, sedangkan mata pelajaran civics dan hukum diberikan sebagai
matapelajaran major pada jurusan major ( PPSP IKIP Bandung; 1973a;1973b)
Pada
masa orde baru (ORBA) nama matapelajaran untuk pendidikan kewarganegaraan
adalah kelompok pembinaan jiwa pancasila dengan nama pendidikan moral pancasila
(PMP tahun 1975) dengan tujuan agar tiap-tiap warga negara Indonesia (WNI)
berkewajiban mengamalkan pancasila dan UUD 1945 serta merealisasikan isi dan
jiwa UUD 1945 dan ketetapan MPRS/MPR sebagai ketentuan pelaksanannya. Setelah
itu disusun kurikulum 1994 yang membuat PMP berubah menjadi pendidikan
pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) hal ini berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional (Wahab &
Sapriya, 2011: 296-297).
Dengan
berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang mengariskan adanya PPKn sebagai bahan kajian wajib
kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (pasal 39), kurikulum
pendidikan dasar dan menengah 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan
tersebut dengan memperkenalkan matapelajaran PPKn. Berbeda dengan kurikulum
sebelumnya, kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan
atas dasar rumusan butir-butir nilai P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan
pancasila), tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan
sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas,
(Taba : 1967 dalam Budimansyah, 2010 : 116). Pendekatan ini mengartikulasikan
sila-sila pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan
kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.
Berdasarkan
kurikulum 1994 PPKn diartikan sebagai matapelajaran yang digunakan sebagai
wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai luhur dan moral tersebut diharapakan
dapat diwujudkan dalam bentuk prilaku kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat, dan mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa.
Melalui
pengertian ini dapat ditangkap jelas bahwa matapelajaran PPKn ini adalah
matapelajaran yang berorientasi pada lingkup sosial masyarakat yang membentuk
moral dan prilaku masyarakat berdasarkan moral dan budaya bangsa Indonesia
sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan
demikian tujuan nya lebih lanjut adalah
untuk menanamkan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan
pada nilai-nilai pancasila baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dan memberikan
bekal pendidikan di SLTP. Berdasarkan fungsinya matapelajaran PPKn tersebut
memiliki tiga misi besar. Pertama, yaitu misi conservation education yaitu mengembangkan dan melestarikan nilai
luhur pancasila, kedua misi social and
moral development yaitu mengembangkan dan membina siswa sadar akan hak dan
kewajibannya, taat pada peraturan yang berlaku serta berbudi pekerti luhur,
serta yang ketiga yaitu fungsi sociocivic
development, membina siswa agar memahami dan menyadari hubungan antar
sesama anggota keluarga, sekolah dan masyarakat serta dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Misi PPKn tersebut memang diwujudkan dalam bentuk organisasi
kurikulum yang berpijak dari nilai pancasila seperti kerapihan, kasih sayang,
kebanggaan, ketertiban, tolong-menolong, keyakinan, tenggang rasa, rela
berkorban, ketekunan, keserasian, percaya diri, kebebasan, kedisiplinan,
ketaatan, persamaan hak dan kewajiban, keteguhan hati, tata krama, keindahan,
lapang dada, persatuan dan kesatuan dan kebijaksanaan.
Namun
demikian misi tersebut tergelincir menjadi pembelajaran pengetahuan tentang
nilai dan moral. Dari situ dapat disimpulkan bahwa matapelajaran PPKn ada
selama ini belum mencapai kesinambungan dan keutuhan antara konsepsi tujuan
dengan instrumentasi dan praktis pedagogisnya. Salah satu penyebabnya
kemungkinan karena masih dominan konsep dan prinsip faculty psycology yang
menekankan pada proses latihan memorisasi.
Untuk
mengimbangi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi,
komunikasi dan kesenian. Pada tahun 2004 dilakukan pembaharuan kurikulum
persekolahan. Perubahan yang paling esensial dari kurikulum 1994 ke kurikulum
2004 adalah pada pusat pembelajaran, pada metode pembelajaran dan pada evaluasi
pembelajaran. Jika kurikulum 1994 berorientasi pada kemampuan guru artinya guru
menjadi pusat pembelajaran, pusat informasi, guru hanya melakukan pembelajaran
melalui transfer informasi kepada siswa melalui ceramah, sedangkan siswa hanya
mencatat dan mendengarkan saja. Selebihnya siswa diminta mengerjakan soal-soal
yang disebut pekerjaan rumah (PR). Evaluasi masih berupa tes klasikal. Dari
sekolah dasar sampai pada sekolah menengah, pertanyaan disusun dalam bentuk
pilihan ganda dan sebagiannya esai atau tes bentuk uraian. Untuk menjawab
soal-soal tersebut siswa belajar dengan menghafal materi pembelajaran, tidak
jarang malam sebelum ujian siswa kurang tidur mempersiapkan diri untuk ujian.
Peserta didik membeli buku dan terbiasa menjawab soal-soal, sehingga lembaga
bimbingan belajar menjamur untuk melatih siswa dalam menjawab soal-soal.
Akibatnya adalah siswa menjadi mampu menjawab soal namun pengetahuan tersebut
tidak memiliki kompetensi dalam memasuki dunia kerja.
Berdasarkan
hal tersebut, maka di sempurnakanlah dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Dengan demikian KBK diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menenkankan
pada kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar performansi tertentu
sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh siswa berupa penguasaan terhadap
seperangkat kompetensi tertentu, (Mulyasa dalam Budimansyah, 2010 : 119).
Mengacu pada pengertian tersebut dan merespon peraturan pemerintah (PP) No.
25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) adalah menyusun standar nasional
untuk semua matapelajaran, mencakup komponen 1). Standar kompetensi, 2).
Kompetensi dasar, 3). Materi pokok, 4). Indikator pencapaian.
Pengembangan
kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya adalah berbasis kompetensi, mencakup
pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Silabus merupakan acuan untuk
merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan sistem penilaian
mencakup jenis tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan
oleh siswa. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh
siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau uraian. Pengembangan kurikulum 2004
harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Berorientasi pada
pencapaian hasil dan dampaknya
b. Berbasis
pada standart kompetensi dan kompetensi dasar
c. Bertolak
dari kompetensi lulusan
d. Memperhatikan
prinsip pengembangan kurikulum yang berdiferensiadi
e. Mengembangkan
aspek belajar secara utuh dan menyeluruh
f.
Menerapkan prinsip
ketuntasan belajar
Pada saat kurikulum
2004 disosialisasikan di sekolah-sekolah (filoting),
diamanatkan dalam PP bahwa yang berwenang menyusun kurikulum adalah satuan
pendidikan, sedangkan kurikulum 2004 masih disusun oleh pemerintah, sehingga
dilakukan perubahan berkelanjutan oleh badan standar nasional pendidikan
(BSNP), dengan menggunakan bahan dasar kurikulum 2004, BSNP mengembangkan
standar isi (Permen No. 22 tahun 2006) dan standar kompetensi lulusan (Permen
No. 23 tahun 2006), menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam
SI dan SKL PPKn diubah lagi menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dalam
dokumen tersebut ditegaskan bahwa PKn merupakan matapelajaran yang memfokuskan
pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI tahun 1945. Tujuan
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah (Budimansyah, 2010:121-122):
1. Berpikir,kritis,rasional,dan
kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi
secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
3. Berkembang
secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lain.
4. Berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Kemudian
di dalam standar isi di jelaskan ruang lingkup mata pelajaran kewarganegaraan
yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Persatuan
dan kesatuan bangsa meliputi hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan,
kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan NKRI, partisipasi
dalam pembelaan negara, sikap positif tehadap NKRI, keterbukaan dan jaminan
keadilan.
2. Norma,
hukum dan peraturan meliputi tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di
sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah,
norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan
nasional, hukum dan peradilan internasional
3. Hak
asasi manusia meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat,
instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan, perlindungan
HAM
4. Kebutuhan
warga negara meliputi hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat,
kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan
bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.
5. Konstitusi
negara meliputi proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama,
konstitusi-konstitusi yang pernah ada di Indonesia dan hubungan dasar negara
dengan konstitusi
6. Kekuasaan
dan politik meliputi pemerintahan desa, dan kecamatan, pemerintahan daerah dan
otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya
demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat
demokrasi
7. Pancasila
meliputi kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses
perumusan pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai ideologi terbuka
8. Globalisasi
meliputi globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri indonesia di era
globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi
internasional dan mengevaluasi globalisasi
Ruang lingkup pendidikan
kewarganegaraan Indonesia sangat kompleks. Dimana hal ini dilandaskan pada
landasan yuridis konstitusional penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan
Indonesia yaitu terdapat dalam UUD NRI tahun 1945 :
o Tujuan
dan aspirasi bangsa indonesia tentang kemerdekaan yang tercantum pada alenia
kedua dan keempat Pembukaan UUD 1945.
o Hak dan
kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara yang
tercantum pada pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
o Hak
setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang tercantum pada Pasal 31
ayat (1) UUD 194
Dan
sekarang di dalam kurikulum 2013 PKn berubah kembali menjadi pendidikan
pancasila dan kewarganegaraan (PPKn). Bila kita cermati dengan baik
perkembangan historis-epistimologi pendidikan kewarganegaraan di Indonesia,
ternyata sampai sejauh ini baik istilah yang dipakai, misi dan isi
matapelajaran civics, pengetahuan
kewargaan negara, pendidikan kewargaan negara, pendidikan moral pancasila,
pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, dan pendidikan kewarganegaraan serta
menjadi PPKn lagi, yang berkembang hampir empat dasawarsa menunujukan
terjadinya inkonsistensi pemikiran yang secara mendasar mencerminkan terjadinya
krisis konseptual, yang berdampak pada krisis operasional kurikuler. Dengan
demikian Indonesia memerlukan konsesus mengenai pedidikan sosial dalam sekolah,
sehingga dapat mengatasi krisis konseptualitas di Indonesia.
Konsep
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan civics
atau ilmu kewarganegaraan di Amerika Serikat sebagai negara asal pelajaran civics dan civic education. Tujuannya adalah membentuk warga negara yang
mengetahui sejarah bangsanya dan berjiwa patriotisme. Selain itu erkembangan civics dan civics
education di Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan civics dan civics
education di dunia. Dalam konteks penyampaian pembelajaran juga tidak
dipungkiri bahwa muncul kesan bahan pembelajaran tersebut dianggap doktrin. Hal
tersebut adalah wajar mengingat bahwa pelajaran tersebut sudah dianggap baik
dan benar bagi sebagian besar penduduk.
Matapelajaran
PKn sebagai kendaraan dan wahana untuk menyampaikan misi Pancasila dan UUD NRI
tahun 1945. Dimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD NRI
tahun 1945 telah dianggap “ Baik dan Benar” oleh masyarakat, yang kebenarannya
secara umum telah dapat diterima masyarakat dan bahkan telah diakui oleh
bangsa-bangsa lain yang telah mendukung dan bahkan membantu pejuangan bangsa
kita, Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Dengan
demikian, menurut penulis hendaknya matapelajaran PKn dan proses pembelajarannya,
senantiasa diharapkan membawa proses perubahan menuju kepada negara yang
demokrasi (proses demokraktisasi) serta ke arah pendewasaan sebagai cara
menunjukkan eksistensi sebagai sebuah negara yang berdaulat yang mengetahui
sejarah bangsanya, negara yang punya jati diri masih harus terus melakukan
pembenahan terhadap konsep pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum
pendidikan di sekolah untuk masa-masa mendatang.
Mencermati
hal tersebut di atas, penting bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa tanggap dan
memberikan inovasi dalam pendidikan kewarganegaraan sehingga warga negara yang
diharapkan dapat terwujud. Warga negara yang cerdas dan baik (smart dan good citizen) serta menyadari
akan hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara Indonesia. Hal ini
menjadi tugas antara Pemerintah dan Tripusat pendidikan (keluarga, sekolah dan
masyarakat).
D. Perkembangan
Pembelajaran Civics yang Berorientasi pada Community,
Economic dan Vocational Civics
Pembelajaran
civics yang berorientasi pada community, economic dan vocational civics atau berorientasi
pada kemasyarakatan, perekonomian dan matapencaharian, perlu juga di
perkenalkan di Indonesia. Ketiga cabang civics
tersebut memiliki hubungan yang saling terkait satu dengan lainnya. Hal ini
disebabkan seorang warga negara yang baik atau warga negara yang demokratis
adalah warga negara yang harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya mulai
dari lingkungan keluarga sampai pada tataran global, (Wahab dan Sapriya, 2011 :
8). Selain itu menurut penulis, warga negara yang baik juga harus mampu
mengembangkan kemampuannya seiring pesatnya kemajuan teknologi, informasi dan
komunikasi, terutama kemampuan dalam berekonomi bagi kesejahteraannya.
Setiap warga negara harus memiliki
kemampuan berekonomi, sebab perekonomian selalu berubah-ubah. Dimana perubahan
penting dalam perekonomian salah satunya adalah pasar bebas. Pasar bebas adalah
konsep pasar yang tidak lagi memberikan proteksi terhadap masuknya
produk-produk yang berasal dari negara-negara berkembang ketika berhadapan dengan
negara-negara maju. Dimana masyarakat harus dipersiapkan menghadapi persaingan
industri yang tinggi, sehingga menuntut masyarakat untuk memiliki kemampuan
menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing dan berkualitas. Namun sebagai
masyarakat yang merupakan bagian dari masyarakat dunia, tetap harus mampu
menghargai dan menghormati negara-negara di dunia, karena pada prinsipnya tidak
ada satu negara pun di dunia ini yang mampu berdiri sendiri tanpa bantuan dari
negara lain. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah membentuk warga negara
yang memiliki kemampuan dan memiliki keterampilan dalam bidang kejuruan,
sehingga mudah bagi warga negara utnuk memperoleh pekerjaan dan memproduksi
produk atau barang. Dengan demikian penting untuk mengembangkan matapelajaran
PKn yang berorientasi pada civics
vocational. Karena bidang kajian ini menekankan pada upaya memahami
persoalan pekerjaan dalam kaitannya dengan kesejahteraan secara umum serta
kajian warga negara yang didasarkan pada dunia kerja warga negara.
Singapura sebagai salah satu negara
yang secara ekonomi, maju di kawasan Asia Tenggara dan
termasuk salah satu negara yang secara sistematis membangun kemampuan vocational
warga negaranya. Dan dengan jelas memisahkan antara academic stream dan vocational stream. Malaysia juga tidak mau kalah, melakukan hal
yang sama, membentuk dan membangun kemampuan vocational warga negaranya yang tujuannya untuk membantu ekonomi
warga negaranya sendiri maupun membantu ekonomi negaranya. Hal sama juga di
lakukan oleh negara Korea yang benar-benar membangun pendidikannya dikaitkan
dengan ekonomi negaranya, (Wahab dan Sapriya, 2011 : 10).
Sedangkan, di negara kita Indonesia
pembahasan mengenai economi civics and
vocational civis masih sangat jarang dikaji bahkan di masukan dalam buku
PKn. Bila kita cermati berdasarkan sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia
mengenai PKn khususnya dari tahun 1957 sampai sekarang ternyata dua bidang
kajian tersebut telihat seperti diabaikan dan tidak dipahami apalagi diberikan
kepada siswa/ warga negara. Padahal untuk dapat berparisipasi dalam kehidupan
bermasayarakat, berbangsa dan bernegara, warga negara salah satunya harus
memiliki kesejahteraan ekonomi. Karena jika warga negara saja dalam kemiskinan,
bagaimana mau berpartisipasi dalam pemerintahan dan memikirkan negara, yang ada
hanyalah mereka memikirkan bagaimana untuk makan setiap harinya.
Dengan demikian sangat penting bagi
pemerintah utuk menyiapakan bidang kajian mengenai economi civics and vocational civis yang berguna untuk memberikan
pengetahuan kepada warga negara dan keterampilan yang dibutuhkan warga negara
sebagai warga negara dalam era globalisasi, yang dipenuhi dengan persaingan dan
pertentangan kepentingan terutama kepentingan ekonomi, sosial dan politik yang
diperlukan untuk bertahan hidup, maju dan sejahtera. Menjadi seorang warga
negara yang terdidik baik sadar akan perannya sebagai individu warga negara,
sebagai warga masyarakat dan bagian dari warga dunia.
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan civics dan
pendidikan kewarganegaraan melalui sederet proses yang panjang, mulai pertama
di temukannya istilah civics pertama
kali oleh seorang legiun veteran Amerika. Istilah citizenship education dan civics
education. Civics merupakan kajian akademis yang bersifat impersonal,
sedangkan civic education / citizenship
education merupakan kajian
personal-pedagogik. Atau dengan kata lain bahwa civics sebagai muatannnya
dan civic educatio / citizenship education sebagai wahana atau
kendaraannya. Dengan demikian mempelajarai keduannya sangat penting bagi warga
negara sebagai individu maupun warga negara sebagai masyarakat.
Di Indonesia sendiri perkembangannya mulai dari ORLA yaitu
kewarganegaraan (1957) yang membahas cara memperoleh dan kehilangan
kewarganegaraan, civics (1962) yang membahas sejarah kebangkitan nasional
dan Pendidikan kewargaan negara (1968), ORBA dengan nama PMP, PPKn sampai pada
KTSP (2006) menjadi PKn dan kemudian kurikulum 2013 menjadi PPKn lagi. Namun
yang perlu kita garis bawahi bahwa pendidikan kewarganegaraan (PKn) di
Indonesia harus senantiasa di kembangkan, dan kita layak meningkatkan aspek
atau bidang kajian PKn lainnya seperti yang terlebih dahulu dilakukan oleh
negara Singapura, Malaysia dan Korea yaitu ecomomic
civics dan vocational civics. Dimana
warga negara di bentuk bukan hanya dari pengetahuannya untuk sadar akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara, tetapi juga mereka diberikan kemampuan untuk
mengelola ekonomi mereka untuk kesejahteraan sebagai individu warga negara dan
juga dapat membantu ekonomi negara, serta mereka diberikan keterampilan utuk
dapat menciptakan produk yang berkualitas dan punya daya saing, selain itu
warga negara disiapkan untuk menghadapi pasar bebas.
Saran
Pemerintah, harus mampu menyeimbangkan pembangunan warga
negara Indonesia yang berkualitas, punya daya saing serta sadar akan hak dan
kewajibannya. Salah satu yang dapat dilakukan dengan perbaikan pada pendidikan
yang menyiapakan warga negara melalui perbanyakan pendidikan kejuaruan dan
mengintergrasikan PKn dengan bidang kajian lainnya seperti ecomomic civics dan vocational
civics. Serta tidak lupa di dukukung oleh peran keluarga dalam mendidik
anak-anaknya dan peran sekolah dalam mendidik siswa-siswanya. Selain itu juga
penciptaan lingkungan yang kondusif di masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Allen,
J. (1960). The Role of Ninth Grade Civics
in Citizenship Education, in The High School Journal, 44.3: p.106-111
Budimansyah,
D. (2010). Penguatan Pendidikan kewarganegaraan
untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press
Madonsa, A.(2010).Pendidikan Kewarganegaraa. http://www. Pendidikan kewarganegaraan.
(Di akses, 20 September 2013)
PPSP IKIP Bandung (1973a). Program Kurikulum Studi Sosial Sekolah Dasar Pembangunan, Bandung
________________ (1973b). Program Kurikulum Studi Sosial Sekolah Menengah Pembangunan, Bandung
Wahab,
A.A dan Sapriya. (2011). Teori dan
Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta
Winataputra, S.U dan Budimansyah, D. (2012).
Pendidikan Kewarganegaraan dalam
Perspektif Internasional. Bandung: Widya Aksara Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar