Sabtu, 10 Mei 2014

Chapter Report: Buku Filsafat Hukum (Prof. Astim Riyanto)



Kedudukan Filsafat Hukum
A.    Pengantar
Pada dasarnya filsafat adalah induk ilmu. Sebelum adanya ilmu pengetahuan, filsafat merupakan lapangan utama pemikiran dan penyelidikan manusia. Demikian pula kesimpulan filsafat yang bersifat hakiki, menyebabkan filsafat dianggap lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan (Queen of knowledge), (Syam, 1984: 16 dalam Riyanto, 2010: 702).
Sebagaimana pendapat ini didukung oleh Soekanto (1975: 14 dalam Riyanto, 2010: 703) bahwa dahulu kala, semua ilmu pengetahuan yang dikenal pada dewasa ini pernah menjadi bagian dari filsafat yang dianggap sebagai induk dari ilmu pengetahuan (Materscientiarum) dan filsafat pada masa itu pula mencakup segala usaha pemikiran mengenai masyarakat. Namun lamakelamaan seiring dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan masyarakat, ilmu-ilmu tersebut memisahkan diri dari filsafat. Misalnya astronomi (ilmu tentang perbintangan yang dulunya adalah bagian dari filsafat kosmologi) sedangkan filsafat alamiah menjadi fisika, filsafat kejiwaan menjadi psikologi dan lain-lain.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa filsafat nantinya lahir setelah adanya ilmu pengetahuan. Dimana setelah adanya ilmu pengetahuan dan timbulnya masalah baru, filsafat atau berfikir filsafat menjadi salah satu cara untuk memecahkan permasalahan tersebut dan memunculkan ilmu pengetahuan yang baru lagi.

B.     Sistematik Filsafat
            Cara mempelajari ilmu filsafat secara sistematis dan mudah adalah dengan membaginya berdasarkan lapangan-lapangan persoalannya. Menurut Plato (429-347 SM) lapangan filsafat dibagi dalam tiga cabang yaitu (1) dialektika yang mengandung persoalan ide-ide atau pengertian umum, (2) fisika yang mengandung persoalan dunia materi, (3) etika yang mengandung persoalan baik dan buruk. Namun secara konkret dan sistematis, Aristoteles membagi filsafat dalam empat cabang dan keempat cabang inilah yang telah diakui secara umum dan masih digunakan dalam zaman modern, yaitu (1) Logika (ilmu pendahuluan bagi filsafat), (2) filsafat teoritis yang terdiri dari: a. ilmu fisika tentang yang mempersoalkan materi dari dunia nyata alam ini; b. ilmu matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam kuantitasnya (mempersoalkan jumlahnya); c. ilmu metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat segala sesuatu. (3) filsafat praktis (falsafah alamiah) terdiri dari; a. ilmu etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorangan; b. ilmu ekonomi yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam keluarga (rumah tangga); c. ilmu politik yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam Negara; (4). Filsafat poetika (kesenian).
            Berdasarkan pembagian di atas dapat dilihat bahwa filsafat hokum merupakan bagian dari cabang etika yang mengatur tingkah laku manusia tentang hal-hal yang berkenaan dengan yang baik dan yang buruk.


Filsafat

                           Logika       Filsafat Teoritis                          Filsafat Praktis       Poetika
                              
                                    Fisika   Matematika   Metafisika       Etika    Ekonomi   Politik
                                                                           Filsafat Hukum 

            Selain itu pendapat lain yang membagi filsafat menjadi beberapa cabangnya, misalnya Al-Ghazali (1058-1111) membaginya menjadi lima cabang, yaitu 1. Ilmu eksakta seperti matematika, geometri, astronomi, 2. Ilmu mantik misalnya ilmu penuturan, pengungkapan, 3. Filsafat ke-Tuhanan, 4. Ilmu fisika, 5. Ilmu politik dan akhlak.  Berdasarkan pendapat di atas maka filsafat hokum termasuk pada akhlak.

C.     Logika, Etika dan Moral
            Bila dicermati dari skema di atas, maka yang erat hubungannya dengan filsafat hokum adalah logika dan etika. Logika mengenai pengertian hokum sedangkan etika mengenai tingkah laku manusia yang diatur oleh hokum. Verhandelingen (1948) mengemukakan filsafat hokum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat. Obyek utama dari bagian filsafat ini ialah tingkah laku manusia dari segi baik dan buruk yang khas, yang ditemukan dalam tingkah laku manusia, baik dan buruk menurut kesusilaan. Kemudian pendapat dari Subekti dan Tjitrosoedibio bahwa filsafat hokum (rechphilosophie) adalah suatu cabang dari ilmu pengetahuan yang bukanlah ilmu hokum, dan ia pun merupakan ranting suatu cabang dari ilmu filsafat yang dinamakan ethica, ajaran tentang alas gerak yang mengemudikan setiap tindak-tanduk manusia dan apa yang seharusnya atau tujuannya.
            Etika atau ethos dalam bahasa yunani, dapat juga mores dalam bahasa latin yang berarti moral atau akhlak dalam bahasa Arab nya, walaupun ada pendapat yang membedakan pengertian tersebut. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki tentang mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui akal pikiran. Sebagaimana menurut Gazalba, “etika ialah teori tentang laku perbuatan manusia,dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh aqal.  Sedangkan moral adalah ide-ide umum yang diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar sesuai dengan ketaatan social lingkungan tertentu. Dengan demikian etika bersifat teori dan memandang tingkah laku manusia secara universal, moral lebih bersifat praktik, moral menyatakan ukuran baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan social tertentu, moral menyatakan ukuran dan moral dibentuk oleh etika.
            Sebagai filsafat, etika mencari keterangan sedalam-dalamnya tentang kebenaran itu. Tugas etika mencari ukuran baik-buruk bagi laku-perbuatan manusia. Sebagai ilmu dan filsafat ia menghendaki ukuran yang umum untuk semua manusia, bagaimana seharusnya manusia bertindak. Sebagai ilmu, etika adalah ilmu pengetahuan yang normative. Norma atau kaidah yang dipergunakan ialah tentang baik dan buruk. Dengan demikian jelas perbedaan antara logika dan seni. Dalam logika normanya benar dan salah, sedangkan dalam seni normanya indah dan jelek. Tujuan mempelajari etika ialah mendapatkan yang ideal yang sama bagi seluruh manusia ditempat manapun juga dalam waktu kapanpun juga mengenai penilaian baik dan buruk. Walaupun kesulitannya adalah mengenai ukuran baik dan buruk yang bersifat relative. Namun senantiasa digunakan terus yang maksimal meskipun hanya berupa ideal saja. Dalam mengusahakan tujuan etika itu manusia pada umumnya menjadikan norma yang ideal itu sebagai pola yang terbayang terus.
            Mengenai agama dan etika tidak bertentangan satu sama lainnya. Menurut Suseno ada dua masalah dalam bidang moral agama yang tidak dapat dipecahkan tanpa penggunaan metode-metode etika yaitu mengenai interpretasi terhadap perintah atau hokum yang termuat dalam wahyu dan masalah moral baru, yang tidak langsung dibahas dalam wahyu namun perlu menggunakan akal yang diberikan oleh Allah yang dapat digunakan dalam semua dimensi kehidupan.

D.    Aliran Etika
            Beberapa aliran etika paling terkenal menurut Bakry ada enam yaitu aliran etika naturalism, aliran etika hedonism, aliran etika utilitarisme, aliran etika idealism, aliran etika vitalisme dan aliran etika teologis.
a.       Aliran Etika Naturalisme
Kebahagiaan manusia di dapat dari fitrah (natuur) kejadian manusia. Perbuatan yang baik ialah perbuatan yang sesuai dengan fitrah manusia, baik lahir maupun bathin. Cara berpikir aliran ini ialah di dalam dunia ini segala sesuatu menuju satu tujuan. Dengan memenuhi panggilan fitrahnya masing-masing mereka menuju kebahagiannya yang sempurna. Contoh aliran filsafat stoa yang menganggap manusia bijaksana dapat merasakan dirinya bagian dari alam, yang terjadi atas kehendak Tuhan (qadar).

b.      Aliran Etika Hedonisme
      Perbuatan yang baik menimbulkan kenikmatan, kelezatan ( hedone). Contohnya adalah etika kaum epikurisme. Semua manusia juga hewan ingin mencapai kelezatan atas dorongan watak. Kelezatan merupakan tujuan, maka semua hal seperti akal, pengetahuan, kebijaksanaan kearah itu dianggap hal yang utama. Sesuatu yang lezat ada baik, buruk, mulia, hina tetapi sebenarnya setiap yang lezat itu baik dan jalan kearah itu juga baik. Epicurus membagi kelezatan menjadi tiga:  1. Lezat yang ditimbulkan dari perasaan yang sewajarnya dan sudah diperlukan sekali misalnya lezatnya makanan dan minuman ketika lapar dan haus, 2. Lezat yang ditimbulkan dari perasaan yang sewajarnya tetapi belum diperlukan sekali misalnya lezatnya makanan yang enak, 3. Lezat yang ditimbulkan dari perasaan yang tidak sewajarnya dan tidak diperlukan, tetapi kelezatan itu dirasakan oleh pikiran manusia yang salah misalnya lezatnya harta dan kemegahan social. Seseorang yang bijaksana adalah yang memeperhatikan kelezatan yang pertama, mempertimbangkan kelezatan yang kedua dan menekan kelezatan yang ketiga.

c.    Aliran Etika Utilitarisme
            Baik dan buruknya perbuatan manusia dinilai dari kecil besarnya manfaatnya bagi manusia. Tokohnya adalah John Stuart Mill (1806-1873). Ia menanamkan kebaikan yang tinggi (summon bonum) ialah manfaat (utility). Tujuan etika aliran ini adalah mencapai kesenangan hidup sebanyak mungkin baik kuantitas maupun kualitas. Kelemahan aliran ini adalah; 1. Oleh sebab di samping kita mempunyai pikiran juga memiliki sentiment dan instinct, maka muncul tindakan demonstrasi atas dasar sentiment dan seorang ibu lapar, payah, dan menderita asal anaknya sehat dan kenyang atas dasar instinct, 2. Arti manfaat terlalu umum dan happiness sangat abstrak sehingga masing-masing orang punya konsep sendiri-sendiri. Bagi Negara yang pluralistic dan demokrasi, konsep utilitarisme seakan mengenyampingkan kesejahteraan kelompok minoritas dan menjunjung kesejahteraan kelompok mayoritas ( Scott Davidson).

d.      Aliran Etika Idealisme
            Perbuatan manusia harus  tidak terikat pada sebab-musabab lahir tetapi setiap perbuatan manusia harus didasarkan pada prinsip kerohanian yang lebih tinggi. Orang berbuat baik bukan karena dianjurkan oleh orang lain atau karena ingin dipuji orang, tetapi berbuat baik itu atas kemauan sendiri dan atas rasa kewajiban. Walau diancam atau dicela perbuatan baik itu akan dilakukan juga. Beberapa kesimpulan penting ajaran Prof. Immmanuel kant mengenai aliran ini; 1. Factor yang terpenting dalam jiwa yang mempengaruhi perbuatan manusia ialah sesuatu kekuatan yang dinamakan “kemauan” (kemauan yang baik). Dari kemauan maka timbulah tindakan-tindakan nyata, 2. Dasar kemauan yang baik itu dihubungkan denagn satu hal yang akan menyempurnakannya, yaitu rasa kewajiban, 3. Atas dasar kewajiban (imperative kategoris) menolak moral yang heteronom. Manusia tidak boleh menerima hokum susila yang ditentukan oleh agama atau instansi lain, tetapi akal praktis manusia menentukan hukumnya sendiri (autonoom), 4. Bertindaklah sedemikian rupa, sehingga kita melayani setiap orang sebagai tujuan akhir dan bukan sebagai suatu perantara. Terdapat beberapa kritik jawaban atas prinsip dasar aliran ini dimana pada akhirnya kesukaran utama etika terletak pada kekacauan batas-batas kebebasan dalam perbuatan manusia. Pemeliharaan tubuh malahan memperkembangkan kebaikan rohani, meremehkan tubuh malahan menyiksa rohani dan mengacaukan pikiran.

e.       Aliran Etika Vitalisme
            Baik buruknya perbuatan manusia dipakai sebagai ukuran ada tidaknya daya hidup yang maksimum mengendalikan perbuatan itu. Yang dianggap baik menurut aliran ini adalah orang yang kuat yang dapat memaksakan dan melangsungkan kehendaknya, yang berkuasa dan sanggup menjadikan dirinya selalu ditaati oleh orang-orang lemah. Tokohnya Friederich Nietzsche dalam filsafat menonjolkan eksistensi perwujudan manusia baru sebagai manusia besar atau pahlawan yang berkemauan keras menempuh hidup baru sebagai dewa Dionysius yang menghancurkan yang lama dan menciptakan yang baru sekali dan menghindari kemunduran. Hal ini mempengaruhi manusia barat menjadi manusia yang memiliki daya hidup baru untuk menguasai dunia. Namun ajaran ini ternyata pada akhirnya adalah menjadikan manusia sombong dan jauh dari Tuhan Pencipta.

f.     Aliran Etika Teologis
            Ukuran baik dan buruk dalam perbuatan manusia diukur dengan pertanyaan apakah dia sesuai dengan perintah Tuhan atau tidak. Amal perbuatan yang baik ialah amal perbuatan yang sesuiai dengan perintah Tuhan yang tertulis dalam kitab suci. Perbuatan yang buruk ialah perbuatan yang bertentangan dengan perintah Tuhan atau mengerjakan larangan Tujan. Terdapat dua kesulitan dalam hal ini ; 1. Dalam dunia ini terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mempunyai kitab suci. Meskipun ayat kitab suci itu banyak bersamaan satu sama lain, namun banyak hal yang berbeda dan bertentangan, 2. Perintah Tuhan dalam kitab suci sering mengandung kalimat yang berarti umum, yang menyebabkan penafsiran yang berbeda-beda pula. Dua macam kesulitan itu menyebabkan timbulnya bermacam-macam mahzab yang berbeda atau bertentangan pendiriannya masing-masing tentang pengertian baik dan buruk. Jalan paling aman meninjau etika telogis yaitu dengan jalan mempelajari khusus etiak suatu agam misalnya, islam, yahudi, Kristen, hindu, budha atau konghucu.

E.     Etika Melekat dengan Sosial
            Berkenaan etika melekat dengan social, menurut Gazalba. Ia lahir dengan kelahiran manusia. Ia mulai dengan awal kebudayaan. Dalam pergaulan hidup harus ada anggapan mana yang baik, buruk, untuk mengatur tingkah laku dalam keluarga, suku, indu, wangsa, bangsa atau pedoman dalam tingkah laku, yang mengisi kehidupan masyarakat. Dikalangan umat manusia yang baik itu sesuai dengan kemanusiaan. Yang buruk yang merusak kemanusiaan. Kemanusiaan itu dahulu, sekarang, dan masa datang sama saja yang berbeda hanyalah manifestasinya. Mula-mula etika belum tersusun dan tercatat untuk dijadikan ukuran dan pedoman yang agak lengkap. Rumusan etika yang mula-mula dianggap umum sebagai ukuran yang sangat dihargai adalah yang bersumber pada agama. Dalam adat yang diwariskan dari angkatan ke angkatan, dihormati, dan dijadikan pedoman, tersimpul pula etika. Dilihat dari satu segi adat itu bahkan merupakan manifestasi dari etika sudut kesatuan social.

F.      Alasan Kita Memerlukan Etika
            Terdapat sekurang-kurangnya empat alasan mengapa etika pada zaman sekarang sangat diperlukan. Pertama; karena kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistic, juga dalam bidang moralitas. Setiap hari kita dapat betemu dengan banyak orang yang memiliki suku berbeda, daerah berbeda dan agama berbeda. Kesatuan tatanan normative sudah tidak ada lagi. Kita berhadapan dengan sekian banyak moral yang berbeda dan saling bertentangan. Jika dilihat historisnya, etika muncul karena ambruknya tatanan moral di Yunani kuno 2500 tahun lalu. Pandangan baik buruk tidak lagi dipercayai sama seperti saat ini. Untuk mencapai suatu pendirian dan pergolakan pandangan moral maka diperlukan refleksi kaitan etika. Kedua; kita hidup dalam transformasi masyarakat tanpa tanding. Perubahan itu terjadi dalam segala aspek kehidupan kita, atau gelombang modernisasi. Cara berpikir yang berubah radikal, rasionalisme, individualism, nasionalisme, materialism, konsumenisme, sekularisme, pluralism dan religious dan system pendidikan modern mengubah lingkungan budaya dan rohani di Indonesia. Ketiga; perubahan budaya dan lainnya membuat tawaran terhadap berubahnya ideology. Etika membuat kita sanggup untuk menghadapi ideology-ideologi dengan kritis dan objektif serta membentuk penilaian sendiri, supaya kita tidak mudah terpancing. Membantu kita agar jangan naïf dan mudah memeluk segala pandangan baru yang ada dan jangan pula menolak nilai-nilai baru karena belum terbiasa. Keempat; etika diperlukan kaum agama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dilain pihak sekaligus nerpartisipasi tanpa takut dan menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.

G.    Tingkat-Tingkat Perkembangan Pemikiran Moral
            Terdapat enam tingkat perkembangan moral menurut Prof. Lawrence Kohlberg yaitu a. patuh pada aturan untuk menghindarkan aturan, b. menyesuaikan diri (conform) untuk mendapatkan ganjaran, kebaikannya dibalas dan seterusnya, c. menyesuaikan diri untuk menghindarkan ketidak setujuan, ketidaksenangan orang lain, d. menyesuaikan diri untuk menghindarkan penilaian oleh otoritas resmi dan rasa diri bersalah yang diakibatkannya, e. menyesuaikan diri untuk memelihara rasa hormat dari orang netral yang menilai dari sudut pandang kesejahteraan masyarakat, f. menyesuaikan diri untuk menghindari penghukuman atas diri sendiri.
           
H.    Hukum sebagai Alat Pembaharuan Masyarakat
            Bertran Russell sebagaimana disitir oleh Susanto ( dalam Riyanto, 2010 : 728), berpendapat, “… filsafat adalah sesuatu yang terletak diantara theology dan ilmu pengetahuan, filsafat terletak diantara ilmu-ilmu eksakta dan dogma-dogma (hal-hal yang harus diterima tetapi tidak dapat dibuktikan). Oleh karenyanya, … filsafat adalah semacam no man’s hand. Mengenai filsafat praktis contohnya kosepsi hokum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sebagaimana pendapat Kusumaatmadja (dalam Riyanto, 2010 : 728) hokum, masyarakat dan pembinaan Hokum Nasional, dimana hal ini mudah diterapkan di dalam masyarakat Indonesia sedang membangun dan menuju modernisai. Jika diambil contoh filsafat terapan adalah peranan hokum sebagai engineering sebagai konsep Pound yang menggambarkan situasi Amerika Serikat, dimana masyarakat AS yang discriminated. Hal ini bertentangan dengan kostitusi yang antara lain menyatakan semua  AS equality before the law. Jadi konsep ini hanya dapat diterapkan di AS saja.

I.       Norma Merupakan Pedoman Tingkat Laku
            Menurut Prof Mclever (1954) dalam Riyanto (2010 : 729) sebagai laba-laba yang mengatur hubungan antar individu yang betujuan tercapainya kedamaian, ketertiban, kesejahteraan.  Pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan terhadap seperti manusia, benda ataupun keadaan. Sikap manusia kemudian membenttuk norma-norma karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan sepantasnya manusia berbeda-beda karena itu diperlukan patokan  yang berupa norma-norma. Menurut Kusumaatmadja,  norma yang mengatur pergaulan hidup manusia itu bermacam-macam ada norma hokum, norma kesusilaan, dan kesopanan. Sedangkan menurut Rahardjo yaitu norma kebiasaan, hokum dan kesusilaan. Menurut soekanto, norma-norma kepercayaan, kesusilaan, dan hokum sebagai norma-norma yang mengatur pergaulan hidup manusia.



J.       Tatanan dalam Masyarakat
            Berbagai tatanan sifat dijelaskan oleh Rhardjo dalam Riyanto (2010 : 730) bahwa hokum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan disitu. Oleh karena itu, ia bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula berupa norma. Masyarakat penuh dengan berbagai norma sehingga akibatnya juga dijumpai lebih dari satu tatanan. Kehidupan masyarakat sedikit berjalan teratur karena ada tatanan. Perbedaan jauh pada tatanan ini bisa dilihat dari segi tegangan antara ideal dan kenyataan atau dalam kata-kata Roadbuck “ ein immer zunehmende spannungsgrad zwischen ideal und wirklichkeit”. Suatu tatanan dalam masyarakat menciptakan hubungan yang tetap dan  teratur anggota masyarakatnya, dan sesungguhnya tidak merupakan suatu konsep yang tunggal.
1.      Tatanan Kebiasaan
            Tatanan kebiasaan adalah tatanan yang terdiri dari norma-norma yang dekat sekali dengan kenyataan. Norma kebiasaan itu tidak lain diangkat dari dunia kenyataan juga. Apa yang biasa dilakukan orang-orang, itulah yang kemudian bisa menjelma menjadi norma kebiasaan, melalui ujian keteraturan, keajegan, dan kesadaran untuk menerimanya sebagai norma oleh masyarakat. Tegangan antara ideal dan kenyataan sangat besar, masuknya unsure ideal dalam tatanan ini sangat sedikit. Bagi tatanan ini yang disebut sebagai manusia ideal adalah manusia sehari-hari juga dan yang normal itulah disebut normative, artinya yang diharuskan untuk dilakukan. Norma kebiasaan sekadar mengangkat hal-hal yang lazim dilakukan sehari-hari menjadi norma, tatanan kebiasaan banyak dinilai tidak sesuai dengan norma hokum dan norma kesusilaan.
2.      Tatanan Hokum
            Ciri yang menonjol dari hokum mulai tampak pada penciptaan norma-norma hokum yang “murni” yaitu yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan penciptaan atau perbuatan hokum itu. Pada proses pembuatan ini dapat dilihat bahwa norma hokum merupakan norma buatan manusia yang sengaja dibuat untuk menegakkan suatu jenis ketertiban tertentu dalam masyarakat. Atas dasar inilah bahwa norma hokum itu lahir atas dasar kehendak manusia. Kehendak manusia merupakan factor sentral yang memberikan ciri pada tatanan ini. Sebagai unsure pengambilan keputusan, kehendak manusia bisa mengangkat kebiasaan sehari-hari sebagai norma hokum dan juga bisa menolaknya. Disinilah dapat kita lihat kemandirian hokum berhadapan dengan ideal dan kenyataan

Hokum terikat pada dua unsure tersebut, karena pada akhirnya ia harus mempertanggungjawabkan berlakunya dari kedua sudut itu pula, yaitu tuntutan keberlakuan secara ideal, filosofis dan secara empiris/kenyataan, sosiologis. Untuk memenuhi tuntutan berlaku filosofis, hokum harus memasukkan unsure ideal kedalam karyanya; sedangkan untuk memenuhi tuntutan berlaku sosiologis, hokum harus memperhitungkan unsure empiris/kenyataan. Sebagai akibatnya, apabila tatanan hokum dibandingkan dengan tatanan kebiasaan, maka tatanan hokum sudah mulai melepaskan diri dari keterikatannya yang besar kepada unsure kenyataan.

3.      Tatanan Kesusilaan
            Kesusilaan berpegang pada ideal yang harus diwujudkan dalam masyarakat. Idealah yang menjadi tolok ukur tatanan ini bagi menilai tingkah laku anggota-anggota masyarakatnya. Dengan demikian, maka perbuatan yang bisa diterima oleh tatanan ini adalah yang sesuai dengan idealnya tentang manusia. Perbedaan antara kesusilaan dengan hokum adalah terletak pada otoritas yang memutuskan apa yang akan diterima sebagai norma. Berbeda dengan hokum, maka unsure kehendak manusia tidak menentukan disini. Keputusan diambil diluar manusia atau perlengkapan masyarakat yang ditugasi untuk melakukan itu. Norma kesusilaan bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh kehendak manusia, melainkan diterima begitu saja olehnya. Tatanan kesusilaan tidak dituntut untuk berlaku sosiologis. Tuntutannya mutlak dan ideal adalah insane kamil, manusia sempurna.

K.    Masyarakat Membutuhkan Peraturan
            Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hokum, melaikan ia juga menginginkan dan membutuhkan agar dalam masyarakat tercipta peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain. Yang utama bagi kepastian hokum ialah adanya peraturan itu sendiri. Tentang peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, di luar pengutamaan nilai kepastian hokum. Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda tersebut, maka penilaian kita mengenai keabsahan atau kesahan hokum pun bisa bermacam-macam. Perbedaan dalam penilai kita mengenai kesahhan dari hokum itu mengandung arti dalam menilai kita harus membuat perbandingan.

L.     Kualifikasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
            Dalam memadukan tatanan kebiasaan, tatanan hokum dan tatanan kesusilaan diperlukan model hokum peraturan perundang-undangan yang mempunyai daya laku dan daya guna. Ada tiga kualifikasi atau landasan pembentukan hokum peraturan perundang-undangan yaitu kualifikasi filosofis, kualifikasi sosiologis dan kualifikasi yuridis.
1.      Landasan Filosofis
            Suatu rumusan peraturan perundang-undangan yang harus mendapat pembenaran (rechtvaardiging) yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup masyarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita keadilan (idée der gerechtigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der zedelijkheid).
2.      Landasan Yuridis
            Suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hokum, dasar hokum, atau legalitas yang terdapat dalam ketentuan lainnya yang lebih tinggi. Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua hal: a. landasan yuridis yang beraspek formal berupa ketentuan yang memberikan wewenang (bevoegheid) kepada sesuatu lembaga untuk membentuknya, b. landasan yuridis yang beraspek pada material berupa ketentuan tentang masalah atau persoalan yang harus diatur.
3.      Landasan Sosiologis
            Suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hokum masyarakat. Oleh karena itu, hokum yang dibentuk harus sesuai dengan hokum yang hidup dalam masyarakat (living law). Selain itu Hamidi dan Budiman (dalam Riyanto, 2010 : 738) menyebutkan landasan politis, ekologis, medis, ekonomis, dan lain-lain menyesuaikan dengan jenis atau objek yang diatur oleh perundang-undangan. Satu pertimbangan lagi, pada dasarnya sebuah peraturan perundang-undangan dibuat harus didukung data hasil penelitian yang akurat sehingga disebut pembuatan/pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis riset.

M.   Berbagai Jenis Hukum
            Ada beberapa jenis hokum menurut tokoh positivism Austin (1790-1859 dalam Riyanto (2010 : 738) yaitu: 1. Hokum Allah, yakni hokum yang lebih merupakan suatu moral hidup daripada hokum dalam arti yang sejati, 2. Hokum manusia, yakni segala peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri. Harus dibedakan antara, a. hokum yang sungguh-sungguh (properly so called), yakni berupa undang-undang yang berasal dari suatu kekuasaan politik atau peraturan pribadi-pribadi swasta yang menurut undang-undang yang berlaku dan b. hokum yang sebenarnya bukan hokum (improperly so called), yakni berupa peraturan yang berlaku bagi suatu klub olahraga, bagi suatu pabrik, bagi karya-karya ilmiah dan sebagainya. Peraturan yang berlaku dalam bidang ini bukan hokum dalam arti yang sesungguhnya sebab tidak berkaitan dengan pemerintah sebagai pembentuk hokum. Pandangan modern yang sulit ditentang:
1.      Bidang yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsure Negara. Wilayah hokum bertepatan dengan wilayah suatu Negara.
2.      Hokum mengandung arti kemajemukan, sebab terdapat beberapa bidang hokum disamping Negara, walaupun bidang-bidang itu tidak mempunyai hokum dalam arti yang penuh. Hokum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari Negara dan yang dikukuhkan oleh Negara. Hukum-hukum lain tetap dapat disebut hukum, tetapi mereka tidak mempunyai arti yuridis yang sesungguhnya.
Yang berdaulat adalah “legibus solute”. Yang berdaulat pembentuk hukum tertinggi (supreme legislator) dan hukum positive adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu. Oleh karena itu, konsekuensinya adalah yang berdaulat berada di atas hukum yang merupakan hasil ciptaannya sendiri.

N.    Peranan Negara dalam Pembentukan Hukum
            Hukum dibuat, dijalankan, dan dipertahankan oleh suatu kekuasaan. Dalam zaman ini kekuasaan itu ialah Negara. Betapa besar peranan Negara dalam pembentukan hukum, terutama bagi Negara-negara yang hukum positifnya didasarkan atas system kodifikasi. Negara membentuk dan mempertahankan hukum. Begitu besar peranan Negara melalui pembentuk undang-undangnya (badan legislative), sehingga terdapat aphorisme pembentuk undang-undang dapat melakukan semua dan segala-galanya kecuali merubah jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
            Tidak berlebihan kiranya hukum positive senyatanya adalah hukum buatan Negara, “hukum Negara”. Hans Kelsen merumuskan bahwa sudah tampak hubungan ilmu politik dengan ilmu hukum yaitu dalam peranan Negara sebagai pembentuk hukum dan dalam obyek ilmu hukum itu sendiri , yaitu hukum. Ilmu politik juga menyelidiki hukum, tetapi tidak meletakan titik berat pada segi-segi teknis dari hukum, melainkan terutama meniitikberatkan pada hukum sebagai hasil dari kekuatan riil. Atau hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat bukan sebagai perwujudan nilai dan hukum sebagai system norma, adalah juga salah satu diantara sekian banyak “alat-alat politik” dengan alat mana penguasa masyarakat dan Negara dapat mewujudkan kebijakannya.

O.    De Reele Machtsfactoren
            Sarjana politik yang menyelidiki hukum harus mengetahui factor-faktor ekstra_legal. Factor-faktor yang lazim disebut “ de reele machsfactoren” (factor-factor kekuasaan/kekuatan nyata) yang turut mempengaruhi pembentukan hukum.  Hal ini dapat dilukiskan secara singkat: ilmu politik harus menyelidiki hukum sebagai gejala sosiologis. Tidak semua bagian hukum positif mempunyai hubungan yang langsung dan sama eratnya dengan ilmu politik. Ada bagian-bagian hukum positif yang kurang atau sedikit sekali pertaliannya dengan ilmu politik. Hukum perdata dan hukum dagang positif misalnya dapat dikatakan irrelevant bagi sarjana-sarjana ilmu politik. Hukum positif yang erat dengan ilmu politik adalah hukum public, teristimewa hukum Negara. Hukum Negara yang erat dengan ilmu politik adalah hukum konstitusi dan hukum tata usaha Negara. Penyelidikan konstitusi merupakan satu obyek ilmu politik dan dalam hal ini bantuan hukum Negara tidak dapat dielakkan. Hukum konstitusinil memperlihatkan struktur formil dari system politik suatu Negara. Pengetahuan akan struktur formil merupakan pangkal tolak penyelidikan sarjana ilmu politik yang menyelidiki Negara.
            Hukum yang sunguh-sungguh adalah hukum yang sah (legal). Hukum yang tidak legal sebenarnya bukan hukum melainkan tindakan kekerasan. Hukum adalah legalitas. Bilamana undang-undang dan peraturan-peraturan ditentukan oleh suatu instansi yang berwenang yakni pemerintah yang sah dan ditentukan menurut criteria yang berlaku. Peraturan yang legal itu mempunyai kekuatan yang yuridis (validity) dan karenanya berbeda dengan kebiasaan yang tidak berlaku secara yurudis. Bedanya adalah ibarat suatu Negara tidak boleh disamakan dengan polisi dan kaidah-kaidah hukum suatu Negara tidak boleh disamakan dengan perintah seorang perampok untuk menyerahkan segala harta kepadanya.

P.      Tradisi Hukum
            Mengupas hukum tradisional dari hukum yang terjadi di daratan Eropa ( system hukum anglo saxon/anglo saxis). Sesuai dengan dikhotomi (pemisahan) ini terdapat dua istilah untuk menandakan hukum: 1. Hukum dalam arti keadilan (iustita) atau ius Rech (dari regree = memimpin). Disini hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana dicita-citakan. 2. Hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet. Norma-norma yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut. Perbedaan kedua istilah tersebut, “hukum” mengandung suatu tuntutan keadilan, istilah “undang-undang” menandakan norma-norma yang secara de facto digunakan untuk memenuhi tuntutan tersebut, entah tertulis atau tidak tertulis. Kata “hukum” sebagai “ius” lebih fundamental  sebab menunjukkan hukum dengan mengikutsertakan prinsip-prinsip atau asas-asas yang termasuk suatu aturan yang dikehendaki orang, dibandingkan “undang-undang” atau “lex” sebagai bentuk eksplisit dari ius. Menurut pengertian modern yang sebagian besar dianut oleh Negara-negara anglo saxon hukum adalah undang-undang dan peraturan yang berlaku (empiris). Dengan demikian undang-undang dan peraturan yang dibuat adil atau tidaknya harus tetap dipatuhi (paham positivis). Dalam bahasa inggris terdapat hanya satu istilah untuk menandakan hukum yakni “law” undang-undang tidak digabungkan dengan keadilan melainkan dengan kebijakan pemerintah. Untuk hukum subyektif dalam Negara-negara berbahasa Inggris digunakan kata right yang menandakan suatu klaim seseorang akan keadilan. Yang diharapkan ialah suatu hukum yang sesuai dengan kebijaksanaan dan keyakinan orang, entah itu cocok dengan prinsip-prinsip abstrak keadilan atau tidak. Berdasarkan system hukum anglo saxon yang identik dengan the rule of law tidak mengherankan kata hukum diganti dengan jurisprudensi yang dibagi menjadi sociological jurisprudensi dan realistic jurisprudensi yang lebih memperhatikan rasa etis para warga Negara, tetapi pandangan atas hukum sebagai gejala empiris tidak berubah. Kosekuensi pandangan ini; 1. Pada prinsipnya hukum tidak melebihi Negara (yang dianggap sama dengan rakyat), 2. Hukum adalah yang berlaku de facto, dan akhirnya tidak lain dari putusan hakim dan yuri rakyat. Dalam tradisi hukum/system hukum Eropa Kontinental, hukum terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil. Ini serasi dengan ajaran filsafat tradisonal dimana pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan. Hukum ialah ius atau recht. Apabila suatu hukum yang konkret yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip keadilan maka hukum itu tidak bersifat normative lagi, dan sebenarnya tidak dapat disebut hukum lagi. Harus selalu diandaikan undang-undang yang dibentuk oleh instansi berwenang adalah adil dan sah, asal sesuai dengan prinsip keadilan. Konsekuensi pandangan ini: 1. Hukum melebihi Negara , sebab ada kaitannya dengan manusia sebagai manusia. Hukum bertempat tinggal di dalam Negara tetapi Negara (pemerintahan) bukan hanya tidak boleh, melainkan juga tidak berwenang membentuk suatu tata hukum yang tidak adil, 2. Sikap kebanyakan orang terhadap hukum mencerminkan pengertian hukum ini. Hukum sebagai moral hidup, 3. Prinsip pembentukan hukum yang adil bersifat etis, maka hukum mewajibkan secara bathiniah. Menurut Huijbers pengertian hukum tradisonal ini cocok dengan hukum yang ada di Indonesia dengan dua alasan karena pertama: hukum secara spontan digabungkan dengan Negara/pemerintahan dan tujuannya keadilan social, kedua: hukum sebagai sesuatu yang dicari dan dicita-citakan oleh rakyat, sesuatu yang ideal. Hal ini Nampak pada pembentukan hukum berdasarkan pancasila, yakni keadilan social. Kesadaran hukum dimulai dengan kesadaran bahwa hukum mewajibkan secara batin sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini.
            Apabila mengikuti gagasan ini, hukum berarti sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil, maka : 1. Ternyata semua orang ingin mewujudkan suatu aturan masyarakat yang adil, 2. Pada umumnya hukum dialami sebagai berwibawa sedemikian rupa, sehingga hukum secara psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang tinggal di bawah hukum tersebut.

Q.    Asas-Asas Hukum Obyektif dan Subyektif
            Dalam konteks pembahasan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum, Huijbers mengemukakan asas-asas hukum ialah prinsi-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas ini dapat disebut juga pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak juga bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-undang tersebut. Asas hukum objektif dan asas subjektif asas hukum obyektif yaitu prinsip-prinsip dasar bagi pembentukan peraturan-peraturan hukum. Asas hukum subjektif prinsip-prinsip yang menyatakan kedudukan subjek berhubungan dengan hukum.
1.      Asas hukum obyektif yang bersifat maoral dan rasional. Asas ini yang bersifat moral telah ada pada para pemikir zaman klasik dan abad pertengahan. Asas yang mudah berfsifat rasional, yakni prinsip-prinsip yang termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. Prinsip ini sudah diterima sejak dulu tetapi baru diungkapkan secara nyata sejak zaman modern yakni sejak timbulnya Negara nasional dan hukum yang dibuat kaum yuridis secara professional.
2.      Asas-asa hukum subjektif yang bersifat moral dan rasional yakni hak-hak yang ada pada manusia dan menjadi titik tolak pembentukan hukum. Perkembangan hukum paling Nampak pada bidang ini.

R.     Asas-Asas Moral dan Rasional serta Hukum dan Agama
            Peranan asas-asas moral dan rasional menurut Huijbers (dalam Riyanto, 2010 : 750) yaitu:
1.      Asas-asas Moral dan Rasional
            Asas-asas moral lebih dipandang sebagai unsure ideal, yang belum tentu dapat diwujudkan dalam suatu tata hukum yang direncanakan. Asas-asas rasional umumnya dianggap sebagai bertalian dengan suatu aturan hidup bersama yang masuk akal dan karenanya duterima sebagai titik tolak bagi pembentukan suatu tata hukum yang baik.
a.       Asas-asas Moral Hukum
            Asas moral hukum yang paling umum berbunyi : lakukanlah yang baik, hindarkanlah yang jahat, hiduplah secara terhormat, jangan merugikan orang, berikanlah kepada tiap-tiap orang menurut haknya. Disusul perintah-perintah moral jangan berdusta, jangan membunuh dan sebagainya. Menurut Brunner (1889-1966 dalam Riyanto, 2010 ; 750) terdapat suatu hungan yang hakiki antara positivisme ilmiah dengan absolutism politik, sebab bagi seorang penganut positivisme tidak ada instansi yang lebih tinggi kecuali Negara. Oleh karenanya seorang pemimpin Negara dapat bertindak semaunya tanpa menghiraukan norma-norma manapun juga. Akan tetapi, Negara bukan suatu instansi yang tertinggi. Negara harus tunduk pada suatu norma kritis yakni suatu hukum kodrat. Hukum kodrat itu bukan hukum, jika dipandang secara tersendiri, tetapi berfungsi sebagai prinsip konstitutif bagi undang-undang. Undang-undang yang tidak mengakui hukum kodrat itu tidak dapat diakui sebagai hukum. Menurut isinya hukum kodrat merupakan buah usaha manusia untuk bertindak secara adil dengan kerelaan hati mengakui suatu aturan hidup yang melebihi kesukaan individual. Acuan adil manusia didunia adalah aturan Sang Pencipta.
b.      Asas-asas Rasional Hukum
            Diantara asas-asas rasional hukum yang disebut asas-asas hukum obyektif (undang-undang) dan asas-asas hukum subyektif (hak) antara lain: hak manusia sebagai pribadi, kepentingan masyarakat dan lain-lain. Hugo mengemukakan beberapa prinsip hukum obyektif yang dianggap rasional: 1. Prinsip ku punya-kau punya, 2. Prinsip ganti rugi, 3. Prinsip kesetiaan pada janji (pacta sunt servanda) dan 4. Prinsip perlunya hukuman. Namun menurut van Eck prinsip ini meragukan dan tidak bersifat universal sebab tanpa norma yuridis tidak ada hukum. Suatu pelanggaran baru dapat di hukum jika sudah terdapat ketentuan tentang hukuman itu sebelum adanya pelanggaran itu.
2.    Asas-asas Hukum dan Agama
            Hukum harus berpedoman pada agama. Dalam agama terdapat norma-norma tentang cara orang harus mengatur hidup bersama, baik norma moral maupun norma yuridis. Agama yahudi mengandung Thora, suatu buku hukum atau lebih tepatnya suatu gambaran tentang praktik hidup sesorang manusia beriman.  Agama kristiani mengandung ajaran-ajaran mengenai manusia terutama mengenai sikapnya dan cita-cita hidupnya, sebagai basis bagi pengembangan kehidupan bersama. Agama islam mengandung suatu pedoman hidup dalam syariah, syariah itu meletakkan fundamental bagi suatu kehidupan yang sejati. Agama hindu dan budha menunjang suatu kehidupan moral manusia, yang sesuai dengan cita-cita seorang manusia yang berbudi luhur. Jadi, agama memberikan inspirasi bagi suatu kesimpilan politik dan yuridis yang baik khususnya dengan menunjang keadilan dalam hidup bersama.
            Apabila terdapat perselisihan tentang peraturan yuridis yang tepat, menurut tokoh-tokoh agama tertentu sebaiknya moral agama menjadi tolok ukur segala peraturan sebagai ganti hukum kodrat. Ada dua pendirian berdasarkan pertimbangan yang berlainan: a. manusia tidak mampu menentukan norma-norma hidup dengan menggunakan akal budi saja, b. manusia mungkin pernah berhasil menemukan yang benar, tetapi ia tidak berhak menciptakan norma-norma sendiri. Ia tidak boleh menimba norma-norma hidup dari sumber lain adaripada wahyu, yang ada dalam ajaran agama. Terlepas ada pendapat lain yang diketengahkan dibalik kedua pertimbangan di atas tersebut.

S.      Sekuler, Sekulerisasi dan Sekulerisme
            Jika kita pada saat ini berbicara mengenai Negara maka kita akan teringat pada Negara modern, Negara territorial, sedangkan konsep Negara territorial adalah konsep modern untuk tepatnya konsep yang lahir dalam abad ke 17. Pada zaman Yunani purba dimulai pemikiran politik yang rasional sekularitas. Aristoteles lazim dianggap bapak ilmu politik. Terdapat tinjauan politik yang penting terutama mengenai pertikaian antara kekuasaan, kerohanian dan kekuasaan keduniawian atau antara gereja dan Negara. Negara tidak saja terbatas dalam waktu tetapi juga bersifat partikularistis.
            Terdapat pertikaian dalam Negara pluralistic antara Negara dan gereja atau antara kekuasaan sekuler( imperium) dengan kekuasaan spiritual (sacerdotum. Hal ini disebabkan anggapan manusia menghadapi dua tujuan yaitu tujuan duniawi (temporal ends) yang merupakan urusan Negara dan tujuan yang abadi (eternal ends) yang merupakan prerogratif dari gereja. Oleh karena itu ada timbul pula ajaran dua kekuasaan (duo fines, ergo duae potestates). Antara kedua tujuan dan kekuasaan ini terdapat hubungan yang sangat erat yang mengharuskan kerja sama antara dua kekuasaan itu. Dimana gereja mengurus aspek keabadiannya jiwa manusia dan Negara sebagai kekuasaan duniawi diserahi tugas mengurus masalah-masalah duniawi pula. Letak kekuasaan Negara dalam bidang hukum (regalis potentas) di luarnya terdapat kekuasaan gereja yaitu ada tiga: kekuasaan mengenai masalah-masalah sakramen (potestas ordenis ), kekuasaan moral kaum padre (potestas jurisdictionis) dan kekuasaan dalam bidang pengajaran dan pendidikan (potestas dosendi) (kesemuanya ajaran Paus Gelasius 1 dikenal dengan ajaran dua pedang atau doctrine of the two swords. Kedudukan gereja dan Negara sama dan sederajat dalam lingkungan kekuasaan masing-masing.
            Di Arab khususnya Libanon, sekularisasi dalam bidang politik meliputi penghapusan system sectarian dalam jabatan-jabatan tinggi Negara, jabatan-jabatan umum dan pemilihan anggota DPR. Sekularisasi yang tidak tepat misalnya “pemisahan Negara dan agama”. Aspek tersebut meliputi; pertama ketidakberpihakan Negara secara umum terhadap peranan agama dan pemimpin-pemimpin agama. Kedua, penghapusan lembaga dan organisasi-organisasi keagamaan sebagai media antara Negara dengan warganya. Aspek ini mengharuskan penghapusan hak pembuatan undang-undang yang diberikan kepada kaum elit dalam beberapa hal dan bahkan menuntut secara logis bagi sebagian golongan ekstrim, penghancuran social keagamaan politis. Ketiga, larangan bagi pemimpin keagamaan untuk ikut campur dalam urusan politik. Misalnya larangan menjadi anggota parlemen bagi orang-orang yang menduduki beberapa jabatan keagamaan pada beberapa Negara sebagaimana berlaku di Perancis sebelum revolusi atau majelis tinggi Inggris dewasa ini. Empat, Negara tidak berhak kepada lembaga-lembaga pendidikan keagamaan. Misalnya, ketetapan Pendidikan tinggi Amerika Serikat bahwa Negara tidak diperkenankan memberikan bantuan keuangan kepada sekolah-sekolah agama. Kelima, beberapa Negara yang menganut paham materialism atau atheism sangat berlebihan dalam menafsirkan sekularisme, bahkan sampai ketingkat memerangi agama dan pendidikan agama, sehingga mengatakan agama adalah candu masyarakat.
            Sekuler, sekulerisasi dan sekulerisme dalam bidang nonpolitik terutama dibidang hukum, meliputi selain bidang-bidang di atas, mengenai bidang politik, semua hak nonpolitik terutama dalam lapangan hukum, hak milik, dan undang-undang hukum kekeluargaan. Sekularisme memaparkan diri dalam masalah-masalah berikut; pertama, kekayaan lembaga keagamaan. Adanya Undang-Undang tanggal 2 Oktober 1989, menyita semua kekayaan lembaga kependetaan. Kedua, pengadilan masalah-masalah kekeluargaan. Di Libanon, terdapat 17 sekte yang diakui, 15 memperoleh hak untuk mendirikan pengadilan khusus tentang masalah keluarga, diantaranya 3 buah pengadilan islam, pengadilan non islam ada 11. Semuanya pengadilan tersebut tidak tunduk dengan peraturan peradilan pemerintah tapi ia memiliki kebebasan penuh sejak zaman Usmani, dan hanya tunduk kepada kekuasaan pemimpin-pemimpin kerohanian. Ketiga, pembuatan peraturan masalah kekeluargaan. Masalah hukum kekeluargaan di Libanon pada prinsipnya tunduk kepada peraturan khusus bagi masing-masing golongan. Tidak diragukan lagi sekularisasi Negara menghendaki dihapuskannya kekuasaan membuat undang-undang (legislative) bagi golongan, dan semua golongan harus tunduk kepada kekuasaan legislative Negara dalam semua hukum kekeluargaan. Sekularisasi ini menuntut pula penyatuan (unifikasi) hukum kekeluargaan dan memasukkannya ke dalam Undang-Undang Hukum Sipil Umum. Keempat, kewarisan dan wasiat. Sebagian besar perundang-undangan hukum sipil menetapkan persamaan antara jenis laki-laki dengan perempuan dan menetapkan “hak menurunkan” (tanzil) atau “mengganti” terutama dalam kewarisan anak laki-laki dari anak laki-laki yang meninggal sebelum pewaris. Kelima, nikah dan talak. Dalam persoalan ini, talak tidak diperbolehkan secara mutlak bagi semua golongan Kristen Katolik. Namun diperbolehkan melalui pengadilan dengan syarat-syarat tertentu bagi golongan Kristen lainnya seperti kelompok Romawi orthodox dan protestan. Menurut golongan islam, talak itu boleh bagi laki-laki tanpa ada perbedaan pendapat. Dalam Undang-undang hukum kekeluargaan Usmani, talak boleh bagi wanita apabila disyaratkan talak berada ditangannya pada waktu akad nikah. Seperti laki-laki pada saat pertikaian atau beberapa kondisi lainnya.
            Mengenai hal perkawinan, menurut agama Kristen perkawinan bukan soal akad biasa namun sebuah bentuk seremonial yang masuk dalam masalah agama. Nikah harus  mengikuti aturan agama dan spengetahuan gereja. Menikah harus dengan yang seagama Kristen. Menurut golongan islam, nikah adalah akad yang “semi perdata” (transaksi yang memiliki kesamaan dengan transaksi keperdataan). Ia adalah akad seperti akad-akad keperdataan lainnya dari segi bentuk. Sah akad nikah dengan ijab kabul di depan siapa saja asal mengikuti syarat-syarat yang ditentukan. Diantaranya hadir dua orang saksi menurut kebanyakan mahzab. Berdasarkan uraian tersebut, sekularisasi dan sekularisme dan padanannya bukanlah kata yang memiliki suatu konsep di semua Negara atau masa. Kata tersebut tidak boleh digunakan secara mutlak dan umum, tanpa ada ikatan atau batasan. Seharusnya dibahas dengan cara meninjau korelasinya (relative) yaitu sebagai suatu sifat yang terbatas pada satu aspek atau beberapa aspek yang ingin dihapuskannya system golongan (sectarian) padanya.

T.      Paham Kenegaraan Monistis dan Pluralistis
            Mengenai paham-paham kenegaraan (kedaulatan) yang monistis dan yang pluralistis, Isjwara dalam (Riyanto, 2010 : 766) mengemukakan pertentangan antara paham-paham kenegaraan yang monistis dan pluralistis masih tetap berlangsung. Masing-masing paham itu mempunyai kebaikan dan kebururkannya. Negara modern pada waktu ini memiliki sifat-sifat yang monistis dan pluralistis. Ia berkuasa penuh dalam lingkungan kekuasaan wilayahnya dan sekaligus memperhatikan tuntutan-tuntutan dari masyarakat yang pluralistis.

U.    Filsafat Hukum adalah Induk dari semua Ilmu Hukum
            Bertalian dengan kedudukan filsafat hukum, Bruggink mengemukan filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yurudik atau hukum, karena filsafat hukum membahas masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum. Filsafat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sedemikian fundamental, sehingga bagi manusia tidak terpecahkan, karena maslah-masalah itu akan melampaui kemampuan berpikir manusia. Filsafat hukum merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Petanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang terhadapnya hanya dapat diberikan jawaban, yaitu menimbulkan lebih banyak pertanyaan baru.

V.    Hubungan antara Hukum dan Etika
            Hubungan antara hukum dan etika adalah hal penting dalam filsafat hukum. Menurut Shidarta hubungan antara hukum dan etika adalah masalah yang paling pokok dalam filsafat hukum. Sejak zaman kuno masalah ini oleh sebagian besar para filsif diketengahkan. Filsafat ilmu modern dan teori hukum dalam lingkungan persoalan ini ( tentang masalah keadilan atau hubungan antara hukum dengan etika) tidak berperan. Filsafat hukum tidak puas hanya dengan kerangka kaku dan penataan yang diberikan oleh hukum modern. Tema yang paling penting dari filsafat hukum berkenaan hubungan antara hukum dan etika, itu berarti hukum adalah suatu momen dari etika. Berkenaan dengan etika maka bebagai tataran perlu dibedakan. Etika normative adalah yang paling penting; ia terdisi dari “keseluruhan criteria yang berdasarkannya orang-orang dan tindakan-tindakannnya dinilai sebagai baik buruk” ( vanhaersolte).
            Etika dalam perjalanan sejarah memperlihatkan suatu perkembangan kea rah kebaikan. Dalam hal ini kita menyentuh persoalan sulit (sebuah masalah inti dari etika) mengenai cara keberlakuan substansial dari etika (tentang baik buruk) dapat diperlihatkan. Kelompok ethici yang dinamakan non-kognitivis berpendapat bahwa keberlakuan ini tidak pernah dapat diargumentasikan secara rasional. Norma-norma etika misalnya adalah suatu pernyataan dari suatu keyakinan subyektif atau emosi yang bebas. Struktur argumentasi untuk keberlakuan substansial dari kaidah-kaidah etika kadang-kadang berbeda sedikit dari struktur argumentasi yang kita temukan pada penemuan hukum. Lebih dari itu, semua ini berarti bahwa etika lebih dari sekedar hanya produk factual kenyataan-kenyataan masyarakat, politik, dan sejenisnya. Etika adalah artikulasi dari apa yang dianggap orang esensial berkenaan dengan realisasi adekuat dari kepribadian bebas mereka, ditinjau baik secara individu maupun dalam kebersamaan dengan sesamanya. Berdasarkan pada suatu titik tolak personalistik (pandangan yang melihat manusia sebagai subyek yang memiliki kepribadian dengan demikian dibangun suatu etika.
           
W.    Penutup
            Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat dalam kedudukan sebagai subspecies dari spesies etika dan dari genus filsafat. Filsafat hukum merupakan filsafat khusus. Filsafat hukum merupakan suatu ilmu cabang dari etika dan ranting dari ilmu filsafat selaku ilmu pertama dan induk dri semua ilmu. Filsafat hukum merupakan filsafat teoritis dan sekaligus filsafat terapan, filsfat praktis yang menjadi induk dari semua refleksi teoritis tentang hukum.

1 komentar: