LATAR
BELAKANG
Studi filsafat tampaknya masih terus banyak
diminati. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat semakin dirasakan signifikansinya,
atau paling tidak, berarti telah terbangun suatu kesadaran kreatif, peka dan
jernih dalam melihat persoalan, sehingga muncul ide-ide segar dan cemerlang.
Manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena dia diberi akal. Akal
inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, membedakan
manusia dengan binatang. Dengan akalnya manusia berpikir, bahkan sering
dijumpai dalam komunikasi sehari-hari muncul istilah “orang itu tidak punya
pikiran”, ini sebagai analogi bahwa pikiran sama dengan akal. Dengan akhirnya mencari
tahu. Inilah asal mula pengetahuan, yaitu adanya keingintahuan manusia. Ketika
manusia berpikir, dari mana dia ada, untuk apa dia ada, dan kemana setelah
tiada? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab dengan segera dan spontan,
tetapi membutuhkan pemikiran secara mendalam, membutuhkan perenenungan. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut bersifat filsafat. Jawabannya membutuhkan pemikiran filsafat.
Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sejauh akal
manusia dapat menjangkaunya.
Secara
etimologis (ilmu asal usul kata) kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philosophia terdiri dari dua kata, yaitu philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta serta sophos
yang berarti kearifan atau kebijaksanaan. Dari bahasa Yunani ini melahirkan
kata dalam bahasa Inggris philosophy
yang diterjemahkan sebagai cinta kearifan/kebijaksanaan. Cinta dapat diartikan
sebagai suatu dinamika yang menggerakan subjek untuk bersatu dengan objeknya
dalam arti dipengaruhi dan diliputi objeknya. Sedangkan kearifan atau
kebijaksanaan dapat diartikan ketepatan bertindak. Dalam bahasa Inggris dapat
ditemukan kata policy dan wisdom untuk menyebut kebijaksanaan.
Namun yang sering dipergunakan dalam filsafat adalah kata wisdom dan lebih ditujukan pada pengertian keaifan.
PEMBAHASAN
Bebrapa hal
yang biasa dikaitkan dengan filsafat, yaitu:
1. Filsafat
sebagai suatu sikap.
Filsafat
merupakan sifat terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagaimana manusia yang berfilsafat dalam
menyikapi hidupnya dan alam sekitarnya. Contoh: seorang ibu yang tiba-tiba
mendapat berita kematian putrinya yang pramugari. Seorang ibu yang mampu
berpikir secara mendalam dan menyeluruh dalam menghadapi musibah tersebut akan
dapat bersikap dewasa, dapat mengontrol dirinya dan tidak emosional. Sikap
kedewasaan secara kefilsafatan adalah sikap yang menyelidiki secara kritis,
terbuka dan selalu bersedia meninjau persoalan dari semua sudut pandangan.
2.
Filsafat sebagai suatu
metode berfilsafat
adalah berpikir secara reflektif, yaitu berpikir dengan memperhatikan unsur di
belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.
3.
Filsafat sebagai
kumpulan persoalan banyak
persoalan-persoalan abadi yang dihadapi oleh para filsuf. Usaha-usaha untuk
memecahkannya telah dilakukan, namun ada persoalan-persoalan yang smpai hari
ini belum juga terpecahkan.
Contoh:
persoalan apakah ada ide-ide bawaan?
Hal
ini telah
dijawab oleh John Locke.
Contoh:
berapa IP (indeks prestasi) yang Anda capai semester ini? Pertanyaan yang
demikian dapat langsung dijawab karena bersangkutan dengan fakta. Sedangkan pertanyaan
yang berikut:
Apakah
Tuhan itu ada?
Apakah
kebenaran itu?
Apakah
keadilan itu Ada perbedaan antara pertanyaan filsafat dengan pertanyaan bukan
filsafat? 4.
Filsafat merupakan
system pemikiran.
Dalam
sejarah filsafat telah dirumuskan system-sistem pemikiran dari Socrates, Plato,
dan Aristoteles. Dengan demikian tanpa adanya nama-nama pemikir tersebut besert
hasil pemikirannya, maka filsafat tidak dapat berkembang seperti sekarang.
5.
Filsafat merupakan
analisis logis para
tokoh filsafat analitis berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan
kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti dari suatu istilah, baik yang
dipakai dalam ilmu maupun dalam kehidupan sehari-hari.
6. Filsafat merupakan suatu
usaha untuk memperoleh pandangan secara menyeluruh
Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh. Hakikat dari sesuatu haruslah mempunyai sifat-sifat berikut:
Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh. Hakikat dari sesuatu haruslah mempunyai sifat-sifat berikut:
a.
Umum, artinya dapat
diterapkan secara luas.
b.
Abstrak, artinya tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan hanya dapat
ditangkap dengan akal.
c.
Mutlak harus terdapat pada sesuatu hal, sehingga halnya menjadi ada.
Menurut
Descrates ada beberapa tahapan untuk memulai perenungan filsafat, yaitu:
a. menyadari adanya masalah apabila seseorang menyadari bahwa ada sesuatu masalah, maka orang tersebut akan mencoba untuk memikirkan penyelesaiannya.
a. menyadari adanya masalah apabila seseorang menyadari bahwa ada sesuatu masalah, maka orang tersebut akan mencoba untuk memikirkan penyelesaiannya.
b.
meragu-ragukan dan menguji secara rasional anggapan-anggapan setelah selesai
dirumuskan, mulailah mengkaji pengetahuan yang diperoleh melalui indera san
meragukannya.
c.
memeriksa penyelesaian-penyelesaian yang terdahulu setelah menguji
pengetahuan perlu mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian yang telah
diajukan mengenai masalah yang bersangkutan.
d.
mengajukan hipotesis
e.
menguji konsekuensi-konsekuensi
mengadakan
verifikasi terhadap hasil-hasil penjabaran yang telah dilakukan.
f.
menarik kesimpulan kesimpulan
yang diperoleh dapat merupakan masalah baru untuk diuji kembali dan seterusnya.
Terdapat
bagian dari filsafat yang cukup menarik walau kurang begitu banyak
dikumandangkan yaitu Etika. Etika adalah bidang
kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral perilaku manusia.
Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu
cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian
filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, namun bukan nilai moral itu
sendiri. Nilai moral adalah kualitas perilaku baik dari manusia. Ajaran yang
memberi manusia tentang bagaimana berperilaku dengan kualitas baik adalah
moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak. Maka etika adalah ilmu
atau lebih tepatnya pengetahuan filosofis, dan bukan merupakan ajaran
(normatif) sebagaimana moralitas atau akhlak. Setiap moralitas atau akhlak
menghendaki supaya manusia berperilaku baik sesuai dengan yang diajarkan,
sedang etika menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik itu dengan
kesadaran dan kepahamannya. Sadar dan paham atas apa yang dilakukannya,
atas sumber dari mana “petunjuk” perbuatan itu, atas alasan kenapa
perbuatan itu dilakukannya, dan atas apa konsekuensi perbuatan itu jika
benar-benar dilakukannya.
Dari paparan di atas jelas bahwa persoalan etika adalah
sebagai berikut: Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan etika
deskriptif (descriptive ethics), yaitu mempelajari perilaku
pribadi-pribadi manusia atau personal morality dan perilaku kelompok atau social
morality. Dengan menganalisa bermacam-macam aspek dari perilaku manusia,
antara lain: motif, niat dan tindakan-tindakan terbaik yang dilaksanakan. Kedua,
pengertian perilaku moral seperti di atas harus dibedakan dengan apa yang
seharusnya (etika normatif). Apa yang seharusnya dilakukan mendasarkan
penyelidikan terhadap prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam kehidupan
manusia. Yaitu dengan menanyakan bagaimanakah cara hidup yang baik yang harus
dilakukan. Ketiga, berkaitan dengan pengertian praktis. Dengan menjawab
pertanyaan bagaimanakah menjalankan hidup dengan benar, atau bagaimana cara
menjadi manusia yang benar (Harold H. Titus, 1984: 140).
Oleh
karena itu lingkup persoalan etika dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Etika Deskriptif
Etika
deskriptif sering menjadi bahasan dalam ilmu sosiologi. Etika deskriptif
bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta
tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan dilapangan penelitian.
Secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika
deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam pengertian luas, seperti dalam
adat kebiasaan, atau tanggapan-tanggapan tentang baik dan buruk,
tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.
Etika
deskriptif adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang berusaha
untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin tentang yang dianggap tidak baik
yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif hanya
melukiskan tentang suatu nilai dan tidak memberikan penilaian.
2.
Etika Normatif
Etika
dipandang sebagai suatu ilmu yang mempunyai ukuran atau norma standar yang
dipakai untuk menilai suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau kelompok
orang. Dalam hal ini etika normatif menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang
seharusnya terjadi atau yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau kelompok
orang. Etika normatif tidak seperti etika deskriptif yang hanya melibatkan dari
luar sistem nilai etika yang berlaku, tetapi etika normatif melibatkan diri
dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
3.
Etika praktis
Etika
praktis mengacu pada pengertian sehari-hari, yaitu persoalan etis yang dihadapi
seseorang ketika berhadapan dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam
tindakannya sehari-hari.
4.
Etika Individual dan Etika Sosial
Adalah etika yang bersangkutan
dengan manusia sebagai perseorangan saja. Di samping membicarakan kualitas etis
perorangan saja, etika juga membicarakan hubungan pribadi manusia dengan
lingkungannya seperti hubungan dengan orang lain. Etika individu berhubungan
dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari perseorangan. Sedangkan etika
sosial berhubungan dengan tingkah laku yang dilakukan oleh perseorangan sebagai
kesatuan yang lebih besar.
Etika filsafat sebagai
cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang dalam hidup
sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam
pendapat-pendapat secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan
antara lain karena pendapat etik tidak jarang berbeda dengan pendapat orang
lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis,
metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma
susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif, etika
filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan manusia,
dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan
malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks
filsafat yunani kuno etika filsfat sudah terbentuk terbentuk dengan kematangan
yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu, tetapi sebagai filsafat ia
tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan
dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat
emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman
inderawi) yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu
emperis berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil
merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi
dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, etika
filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat berbicara
juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat
konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan
bahwa pengetahuan benar tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh
perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari sokrates yang disebut
Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang mempunyai pengetahuan tentang
baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang berbuat jahat, dilakukan
karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat
jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit
untuk dipertahankan. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu
etika, belum terjamin perilakunya baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu
pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak mendapat pendidikan di sekolah,
tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat mengagumkan. Namun
demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat sokrates tadi, pengethuan
tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai
kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika
dapat memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri
belum cukup untuk menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat. Etika filsafat juga bukan filsafat praktis dalam arti ia
menyajikan resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk
yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang
dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang teman-teman yang
menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah orang dapat
menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab,
nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika
filsafat tidak mempunyai nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang
saja, karena membahas hal-hal yang abstrak dan kurang releven untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika
filsafat dianggap tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat
filsafat mengenai etika. Disini tidak perlu diselidiki sampai dimana prasangka
itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-tidaknya tentang etika sebagai cabang filsafat dengan mudah dapat disebut dan disetujui
relevansinya bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (Abdullah:
2006)
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara
kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai,
norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut
pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika tidak
membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika
berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu
mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma
moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan
manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)
Dalam kehidupan
sehari-hari, istilah akhlak terkadang disebut dengan istilah adab.
Maka, orang yang berakhlak, lalu disebut orang yang beradab, sebaliknya orang
yang buruk perilakunya, disebut tidak beradab. Istilah akhlak terkadang juga
disebut dengan sopan santun.
Akhlak berasal dari bentuk jamak
bahasa Arab khuluq yang berarti suatu sifat permanen pada diri orang yang
melahirkan perbuatan secara mudah tanpa membutuhkan proses berpikir. Definisi
lain dari akhlak adalah sekumpulan nilai-nilai yang menjadi pedoman berperilaku
dan berbuat Akhlak juga secara singkat diartikan sebagai budi pekerti atau
perangai. Jadi bisa disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu moral/ilmu
akhlaq yang mengindikasikan hal-hal pra tindakan yang berupa pengetahuan serta
pemikiran tentang hal/tindakan baik dan buruk.
Kebaikan itu sendiri-menurut ibn Sina sangat erat kaitannya dengan
kesenangan. Kebaikan itu membuat manusia lebih sempurna dalam suatu hal.
Kebaikan terbaik berkaitan dengan kesempurnaan roh manusia. dengan demikian
kejahatan merupakan sejenis ketidak sempurnaan.
Tujuan hidup ialah untuk menghentikan kesenangan duniawi
sebagai suatu yang diinginkan dan mengembangkan serta menyempurnakan roh dengan
cara bertindak menurut kebajikan-kebajikan rasional. Roh yang demikian berada
sangat dekat dengan sumber ketuhanannya dan ingin bersekutu dengannya dan
dengan arahnya itu ia mencapai kebahagiaan abadi. Sedangkan menurut teori hedonisme
Yunani kuno mengajarkan bahwa kebaikan itu merupakan sesuatu yang mengandung
kepuasan atau kenikmatan. Sedangkan aliran pragmatisme mengajarkan bahwa segala
sesuatu yang baik dalam kehidupan adalah yang berguna secara praktis. Sama beda
dengan aliran utilitarianisme yang mengajarkan bahwa yang baik adalah yang
berguna.
Jika ada sekelompok masyarakat yang dapat hidup
rukun, giat bekerja dengan cara-cara yang baik, masyarakat yang demikian ini
lalu disebut dengan masyarakat yang santun atau yang mempunyai sopan
santun, maka ada istilah masyarakat yang santun atau masyarakat yang beradab (civil
society). Dalam etika, nilai perilaku manusia dapat dibedakan dari dua sudut
pandang. Pertama, perilaku yang dilihat dari sudut tujuannya.
Pembahasan mengenai perilaku demikian, dalam kajian etika dikenal dengan teleologis.
Berasal dari kata telos yang berarti tujuan. Teleologis adalah paham
etika yang menekankan moral pada nilai intrinsik sebagai konsekuensi suatu
perbuatan. Kedua, perilaku yang dilihat dari sudut prosesnya, yang
dalam kajian etika dikenal deontologis. Berasal dari kata deon
yang berarti proses. Deontologi adalah suatu paham etika yang menekankan
perbuatan moral bukan pada nilai intrinsik dari konsekuensi perbuatan baik dan
bijak karena perbuatan itu sendiri. Secara sederhana bisa dikatakan, dua hal inilah
yang menjadi ukuran baik-tidaknya akhlak seseorang.
Pada yang pertama, perilaku manusia dikatakan
baik jika tujuannya baik atau sebaliknya, perilaku manusia dapat dikatakan
buruk jika tujuannya buruk. Sementara pada yang kedua, meski tujuannya buruk
jika proses perilaku itu baik, maka perilaku itu tetap dikatakan baik,
sebaliknya jika memang prosesnya buruk, meski tujuannya baik, perilaku akan
tetap dikatakan buruk. Kekacauan dalam melihat dua hal yaitu tujuan dan proses ini, mengakibatkan apa
yang dimaksud dengan akhlak itu menjadi kabur. Misalnya: seseorang yang ingin
menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, atau memberi nafkah keluarga,
memberi sumbangan pada masjid atau madrasah; semua ini jelas merupakan tujuan
yang baik. Tetapi jika tujuan baik ini diwujudkan dengan cara-cara yang salah,
seperti: memasang lotre, mencuri, korupsi, menipu, dan lain sebagainya, tentu
semua ini tidak bisa disebut perbuatan yang baik atau berakhlak.
Segala macam tindakan yang dilakukan
oleh manusia selalu bersangkut paut dengan baik dan buruk, pantas ataukah tidak
pantas dilakukan. Karena semua manusia pada dasarnya–baik muslim ataupun
tidak–memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Setiap tindakan yang
dilakukan oleh sekelompok manusia (Desa, Daerah, Negara, Keyakinan Keagamaan,
dll) baik, belum tentu baik juga bagi kelompok manusia yang lain. Bahkan ada
sebagian tokoh khususnya disni adalah tokoh posmodernisme memandang bahwa
kebenaran bersifat relatif, terhadap waktu, budaya tempat dan sebagainya. Hal
inilah yang biasa dikenal orang sebagai “Etika”. Etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk
atau kata lainnya ialah teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal
lima ketegori baik-buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk
sekali. Nilai ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas
dari noda apa pun jenisnya. Tetapi tujuan etika itu sendiri
ialah bagaimana mengungkap perbedaan kebaikan dan keburukan sejelas-jelasnya
sehingga mendorong manusia terus melangkah pada kebaikan.
Banyak orang juga yang mengidentikkan Etika dengan
Moral (Moralitas). Etika membatasi dirinya dari disiplin ilmu lain dengan
pertanyaan apa itu moral? Ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan
seputar etika. “Etika” dan “Moral”. Kata yang terakhir ini berasal dari bahasa Latin mos
(jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Jadi etimologi kata “etika”
sama dengan etimologi kata “moral” karena keduanya berasal dari kata yang
berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang pertama berasal dari
bahasa Latin. Tetapi
di samping itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan
manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat
etika membahas yang harus dilakukan. Keduanya sama-sama terkait dengan
baik-buruknya tindakan manusia, namun diantara etika dan moral memiliki
perbedaan pengertian. Secara singkat dapat dipahami bahwa moral lebih condong
kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu
sendiri”, sedangkan etika memiliki pengertian “ilmu yang mempelajari tentang
baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari
perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilmu al-akhlaq), dan moral (akhlaq)
adalah prakteknya. Dalam filsafat, terkadang etika disamakan dengan filsafat
moral. Tindakan
etis dipercaya pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.
Selain itu tindakan etis juga bersifat rasional. Islam sangat percaya kepada
rasionalitas sebagi alat dalam mendapatkan kebenaran.
Bagian Persoalan moralitas dalam
hubungannya dengan interaksi antar manusia merupakan persoalan utama pada zaman
ini. Beberapa persoalan krusial yang muncul, antara lain adalah bagaimana
manusia harus bersikap menghadapi perkembangan teknologi yang pesat pada abad
ini, bagaimana bangsa-bangsa dunia menghadapi pemanasan global, bagaimana harus
memlihara perdamaian secara bersama-sama dalam masyarakat yang sangat plural.
Semua itu masuk ke dalam problematika etika yang perlu dipikirkan dengan
segera. Kenyataan yang ada pada saat ini bahwa kemajuan teknologi informasi
telah berkembang lebih cepat dari pada pemahaman terhadap nilai-nilai.
Menurut Bertens, (2007:31), situasi etis pada zaman modern
ini ditandai oleh tiga ciri antara lain: 1) adanya pluralitas moral; 2)
munculnya masalah-masalah etis baru yang sebelumnya tidak ada; 3) munculnya
kesadaran baru di tingkat dunia yang nampak jelas dengan adanya kepedulian etis
yang universal. Maka dari itu setidaknya terdapat empat alasan perlunya etika
pada zaman ini (Suseno, 1993: 15).
Pertama, individu hidup dalam masyarakat
yang semakin pluralistik, termasuk di dalamnya di bidang moralitas. Kedua, pada
saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang berlangsung
sangat cepat. Gelombang modernisasi membawa perubahan yang mengenai semua segi
kehidupan. Ketiga, bahwa proses perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi
ini sering dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk
memancing dalam air keruh. Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum
agamawan. Dengan demikian, maka etika sangatlah penting.
Etika sangat penting
bagi pengembangan ilmu, apapun disiplinnya. Tanpa mempertimbangkan tujuan
untuk kehidupan kemanusiaan dan keberlangsungan lingkungan hidup baik hayati
maupun non hayati adalah pembunuhan diri eksistensi manusia. Diberbagai media massa
banyak membicarakan tentang teroris yang melakukan serangkaian pemboman di
berbagai tempat di Indonesia. Di balik bom teroris tersebut ternyata menyisakan
suatu masalah bahwa pemahaman keagamaan yang tidak didialogkan dengan
permasalahan-permasalahan yang sudah ada sebelumya dan tidak dikomunikasikan
dengan ilmuwan agama lainnya ternyata bisa menimbulkan korban manusia-manusia
tak bersalah.
Pribadi-pribadi manusia selalu mengadakan pertimbangan
terhadap tingkah laku mereka sendiri dan tingkah laku orang lain. Terdapat
tindakan-tindakan yang disetujui dan dinamakan benar atau tidak.
Tindakan-tindakan lain dicela atau tidak disetujui dinamakan salah atau jahat.
Pertimbangan moral berhadapan dengan tindakan manusia, yang bebas.
Tindakan-tindakan yang tidak bebas, yang pelakunya tidak dapat mengontrol perbuatannya,
tidak dihubungkan dengan pertimbangan moral, karena seseorang dianggap tidak
dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya yang tidak dikehendaki.
Tindakan-tindakan tercela ini diidentikan dengan perilaku iblis.
Perilaku iblis adalah perilaku tercela
yang dilarang agama. Perilaku iblis tersebut antara lain adalah mencuri, kikir,
tidak peduli terhadap penderitaan orang lain, tidak mau
membantu orang yang ditimpa kesusahan, selalu ingin menang sendiri, merasa diri
paling memiliki kelebihan, angkuh, sombong, dan tidak mau bergaul dengan orang
yang lebih rendah dari dirinya, menganggap lemah dan remeh terhadap orang lain,
tidak mau menerima masukkan, saran, kritik, dan nasihat dari orang lain. Padahal
Allah SWT sangat mengutuk tindakan tersebut, sebagaimana Q.S Al Al’raf : 12
ketika Iblis berkata “ Aku lebih baik daripadanya (Adam), karena aku Engkau
jadikan dari api sedangkan Ia, Engkau jadikan dari tanah”. Karena hal tersebut
Allah SWT mengutuk iblis dan mengusir iblis dari sisi-Nya dan mendapat laknat
kutukan selamanya.
Tidak ada hal yang dapat dibanggakan
dan disombongkan manusia karena di mata Allah SWT semua yang dimiliki oleh
manusia adalah titipan dari Allah semata. Semua yang terjadi dalam hidup
manusia, rezeki yang melimpah, kemiskinan adalah atas kehendak Allah dan
merupakan suatu ujian keimanan manusia itu sendiri. Sebagaimana Dalam al-Qur’an Allah
berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun”
(QS. Yasin: 82) yang bermakna Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala
sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat
menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk
menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat
akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
Dengan
demikian kewajiban manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT (Q.S
Adz Dzariyat:56) yang berbunyi “
Dan tidaklah ku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada Ku”.
Serta memaksimalkan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi (Q.S
Albaqarah:30). Tiap-tiap manusia adalah pemimpin, minimal dia akan menjadi
pemimpin bagi dirinya sendiri, atau laki-laki menjadi pemimpin keluarganya.
Sebagai
khalifah di muka bumi, manusia wajib
mengatur kehidupannya dengan baik dan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT.
Dimana manusia harus dapat memberikan kemanfaatan bagi manusia lainnya dan alam
lingkungannya, “sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat bagi yang
lainnya”. Memberikan manfaat dapat diartikan sebagi mendatangkan kebaikan bagi
orang lain. “Kebaikan yang diperoleh seseorang haruslah didasarkan pada
kesadaran pengembangan kebaikan dalam rangka kekeluargaan”,(QS. Al-Maidah:90).
KESIMPULAN
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang senantiasa
diberikan banyak kelebihan yang dapat ia maksimalkan sebagai bentuk
pengabdiannya kepada Allah SWT, dengan nilai ke-Tuhanan tersebut manusia
senantiasa membina wataknya untuk menjadi manusia yang baik dan memiliki leadership (jiwa kepemimpinan) untuk
senantiasa menjadi orang yang selalu memberikan kebaikan bagi orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Y. (2006). Studi Etika. Jakarta. Rajawali Perss.
Al Qur’an
Bertens, K. (2007).
Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Suseno,
F.M. (1993).
Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius
Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar